Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani

SELAMAT DATANG DI BLOG SD NEGERI 2 BOROKULON, KECAMATAN BANYUURIP, KABUPATEN PURWOREJO

Mari bergabung dengan kami untuk meningkatkan kinerja kita sebagai guru yang profesional, demi meningkatkan mutu pendidikan.

KEGIATAN EKSTRAKURIKULER

KEGIATAN EKSTRAKURIKULER
SDN 2 Borokulon melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler seni tari, pramuka, seni musik

Senin, 28 Mei 2012

Wayang Purwa : SEMAR


S E M A R
Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranoyo
Bebrodo = Membangun sarana dari dasar
Noyo = Nayoko = Utusan mangrasul
Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah untuk kesejahteraan manusia
Filosofi, Biologis Semar
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul
Sang Maha Tumggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta sekaligus simbul keilmuan yang netral namun simpatik".
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar "kuncung" (jarwodoso/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.
Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : "dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat". Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi.
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.
Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman Prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .
Gambar Wayang Semar kiranya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya :
Yang wayang itu hanyalah kulit
Yang kulit itu bukan Hakekat
Samasekali bukan , Ia
Hanyalah lambang dan sifat-sifat
Nama-nama dan aspeknya
Yang dalam lambang itu Maya
Dalam Maya ada Ia
Ia adalah yang Maha Wisesa, Wenang wening
Ia tak tampak tapi ada
Ada ini sebagai ada yang pertama
Dan tidak pernah tidak ada
Adanya adalah tunggal
Adanya adalah Mutlak
Ia satu-satunya kenyataan
Ada adalah tak tampak mata
Gaib, misterius, samar
Karena yang ada mutlak itu Tunggal
Yang Tunggal adalah kebenaran
Kebenaran mutlak karena tak ada kebenaran yang mendua
Tan Hana Dharma Mngrwa
Jadi Sang Hyang Tunggal adalah Kebenaran
Sang Hyang Tunggal adalah Samarnya SEMAR
Samar adalah aspek sifat dan Nama
Samar ada pada SEMAR

Kamis, 01 Juli 2010

MENGEMBANGKAN BAKAT PESERTA DIDIK DI SEKOLAH DENGAN CARA PEMBELAJARAN PENGAYAAN

I. PEMBELAJARAN PENGAYAAN


A. Pembelajaran Menurut Standar Nasional Pendidikan

Standar nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menetapkan 8 standar yang harus dipenuhi dalam melaksanakan pendidikan. Kedelapan standar dimaksud meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran ditetapkan dalam standar isi dan standar kompetensi lulusan. Standar isi (SI) memuat standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik dalam mempelajari mata pelajaran tertentu. Standar kompetensi lulusan (SKL) berisikan kompetensi yang harus dikuasai peserta didik pada setiap satuan pendidikan. Sementara berkenaan dengan materi yang harus dipelajari, disajikan dalam silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang dikembangkan oleh guru. Menurut pasal 6 PP. 19 Th. 2005, terdapat 5 kelompok mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus. Kelima kelompok mata pelajaran tersebut meliputi: agama dan akhlak mulia; kewarganegaraan dan kepribadian; ilmu pengetahuan dan teknologi; estetika; jasmani, olah raga, dan kesehatan.

Dalam rangka membantu peserta didik mencapai standar isi dan standar kompetensi lulusan, pelaksanaan atau proses pembelajaran perlu diusahakan agar interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan kesempatan yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Untuk mencapai tujuan dan prinsip-prinsip pembelajaran tersebut tidak jarang dijumpai adanya peserta didik yang memerlukan tantangan berlebih untuk mengoptimalkan perkembangan prakarsa, kreativitas, partisipasi, kemandirian, minat, bakat, keterampilan fisik, dsb. Untuk mengantisipasi potensi lebih yang dimiliki peserta didik tersebut, setiap satuan pendidikan perlu menyelenggarakan program pembelajaran pengayaan.


B. Hakikat Pembelajaran Pengayaan

Secara umum pengayaan dapat diartikan sebagai pengalaman atau kegiatan peserta didik yang melampaui persyaratan minimal yang ditentukan oleh kurikulum dan tidak semua peserta didik dapat melakukannya.

Untuk memahami pengertian program pembelajaran pengayaan, terlebih dahulu perlu diperhatikan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku berdasar Permendiknas 22, 23, dan 24 Tahun 2006 pada dasarnya menganut sistem pembelajaran berbasis kompetensi, sistem pembelajaran tuntas, dan sistem pembelajaran yang memperhatikan dan melayani perbedaan individual peserta didik. Sistem dimaksud ditandai dengan dirumuskannya secara jelas standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik. Penguasaan SK dan KD setiap peserta didik diukur dengan menggunakan sistem penilaian acuan kriteria (PAK). Jika seorang peserta didik mencapai standar tertentu maka peserta didik tersebut dipandang telah mencapai ketuntasan.

Dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran tuntas, lazimnya guru mengadakan penilaian awal untuk mengetahui kemampuan peserta didik terhadap kompetensi atau materi yang akan dipelajari sebelum pembelajaran dimulai. Kemudian dilaksanakan pembelajaran dengan menggunakan berbagai strategi seperti ceramah, demonstrasi, pembelajaran kolaboratif/kooperatif, inkuiri, diskoveri, dsb. Melengkapi strategi pembelajaran digunakan juga berbagai media seperti media audio, video, dan audiovisual dalam berbagai format, mulai dari kaset audio, slide, video, komputer multimedia, dsb.

Di tengah pelaksanaan pembelajaran atau pada saat kegiatan pembelajaran sedang berlangsung, diadakan penilaian proses dengan menggunakan berbagai teknik dan instrumen dengan tujuan untuk mengetahui kemajuan belajar serta seberapa jauh penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah atau sedang dipelajari. Penilaian proses juga digunakan untuk memperbaiki proses pembelajaran bila dijumpai hambatan-hambatan.

Pada akhir program pembelajaran, diadakan penilaian yang lebih formal berupa ulangan harian. Ulangan harian dimaksudkan untuk menentukan tingkat pencapaian belajar, apakah seorang peserta didik gagal atau berhasil mencapai tingkat penguasaan kompetensi tertentu. Penilaian akhir program ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan apakah peserta didik telah mencapai kompetensi (tingkat penguasaan) minimal atau ketuntasan belajar seperti yang telah dirumuskan pada saat pembelajaran direncanakan.

Jika ada peserta didik yang lebih mudah dan cepat mencapai penguasaan kompetensi minimal yang ditetapkan, maka sekolah perlu memberikan perlakuan khusus berupa program pembelajaran pengayaan. Pembelajaran pengayaan merupakan pembelajaran tambahan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan pembelajaran baru bagi peserta didik yang memiliki kelebihan sedemikain rupa sehingga mereka dapat mengoptimalkan perkembangan minat, bakat, dan kecakapannya.

Pembelajaran pengayaan berupaya mengembangkan keterampilan berpikir, kreativitas, keterampilan memecahkan masalah, eksperimentasi, inovasi, penemuan, keterampilan seni, keterampilan gerak, dsb. Pembelajaran pengayaan memberikan pelayanan kepada peserta didik yang memiliki kecerdasan lebih dengan tantangan belajar yang lebih tinggi untuk membantu mereka mencapai kapasitas optimal dalam belajarnya.

C. Jenis Pembelajaran Pengayaan

Ada tiga jenis pembelajaran pengayaan, yaitu:

1. Kegiatan eksploratori yang bersifat umum yang dirancang untuk disajikan kepada peserta didik. Sajian dimaksud berupa peristiwa sejarah, buku, tokoh masyarakat, dsb, yang secara regular tidak tercakup dalam kurikulum.

2. Keterampilan proses yang diperlukan oleh peserta didik agar berhasil dalam melakukan pendalaman dan investigasi terhadap topik yang diminati dalam bentuk pembelajaran mandiri.

3. Pemecahan masalah yang diberikan kepada peserta didik yang memiliki kemampuan belajar lebih tinggi berupa pemecahan masalah nyata dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah atau pendekatan investigatif/ penelitian ilmiah.

Pemecahan masalah ditandai dengan:

a. Identifikasi bidang permasalahan yang akan dikerjakan;

b. Penentuan fokus masalah/problem yang akan dipecahkan;

c. Penggunaan berbagai sumber;

d. Pengumpulan data menggunakan teknik yang relevan;

e. Analisis data;

f. Penyimpulan hasil investigasi.

Sekolah tertentu, khususnya yang memiliki peserta didik lebih cepat belajar dibanding sekolah-sekolah pada umumnya, dapat menaikkan tuntutan kompetensi melebihi standari isi. Misalnya sekolah-sekolah yang menginginkan memiliki keunggulan khusus.


II. PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PENGAYAAN

Pemberian pembelajaran pengayaan pada hakikatnya adalah pemberian bantuan bagi peserta didik yang memiliki kemampuan lebih, baik dalam kecepatan maupun kualitas belajarnya. Agar pemberian pengayaan tepat sasaran maka perlu ditempuh langkah-langkah sistematis, yaitu pertama mengidentifikasi kelebihan kemampuan peserta didik, dan kedua memberikan perlakuan (treatment) pembelajaran pengayaan.


A. Identifikasi Kelebihan Kemampuan Belajar

1) Tujuan

Identifikasi kemampuan berlebih peserta didik dimaksudkan untuk mengetahui jenis serta tingkat kelebihan belajar peserta didik. Kelebihan kemampuan belajar itu antara lain meliputi:

a. Belajar lebih cepat.

Peserta didik yang memiliki kecepatan belajar tinggi ditandai dengan cepatnya penguasaan kompetensi (SK/KD) mata pelajaran tertentu.

b. Menyimpan informasi lebih mudah

Peserta didik yang memiliki kemampuan menyimpan informasi lebih mudah, akan memiliki banyak informasi yang tersimpan dalam memori/ ingatannya dan mudah diakses untuk digunakan.

c. Keingintahuan yang tinggi

Banyak bertanya dan menyelidiki merupakan tanda bahwa seorang peserta didik memiliki hasrat ingin tahu yang tinggi.

d. Berpikir mandiri.

Peserta didik dengan kemampuan berpikir mandiri umumnya lebih menyukai tugas mandiri serta mempunyai kapasitas sebagai pemimpin.

e. Superior dalam berpikir abstrak.

Peserta didik yang superior dalam berpikir abstrak umumnya menyukai kegiatan pemecahan masalah.


f. Memiliki banyak minat.

Mudah termotivasi untuk meminati masalah baru dan berpartisipasi dalam banyak kegiatan.

2) Teknik

Teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan berlebih peserta didik dapat dilakukan antara lain melalui : tes IQ, tes inventori, wawancara, pengamatan, dsb.

a. Tes IQ (Intelligence Quotient) adalah tes yang digunakan untuk mengetahui tingkat kecerdasan peserta didik. Dari tes ini dapat diketahui tingkat kemampuan spasial, interpersonal, musikal, intrapersonal, verbal, logik/matematik, kinestetik, naturalistik, dsb.

b. Tes inventori

Tes inventori digunakan untuk menemukan dan mengumpulkan data mengenai bakat, minat, hobi, kebiasaan belajar, dsb.

c. Wawancara

Wanwancara dilakukan dengan mengadakan interaksi lisan dengan peserta didik untuk menggali lebih dalam mengenai program pengayaan yang diminati peserta didik.

d. Pengamatan (observasi)

Pengamatan dilakukan dengan jalan melihat secara cermat perilaku belajar peserta didik. Dari pengamatan tersebut diharapkan dapat diketahui jenis maupun tingkat pengayaan yang perlu diprogramkan untuk peserta didik.


B. Bentuk Pelaksanaan Pembelajaran Pengayaan

Bentuk-bentuk pelaksanaan pembelajaran pengayaan dapat dilakukan antara lain melalui:

1. Belajar Kelompok

Sekelompok peserta didik yang memiliki minat tertentu diberikan pembelajaran bersama pada jam-jam pelajaran sekolah biasa, sambil menunggu teman-temannya yang mengikuti pembelajaran remedial karena belum mencapai ketuntasan.

2. Belajar mandiri.

Secara mandiri peserta didik belajar mengenai sesuatu yang diminati.

3. Pembelajaran berbasis tema.

Memadukan kurikulum di bawah tema besar sehingga peserta didik dapat mempelajari hubungan antara berbagai disiplin ilmu.

4. Pemadatan kurikulum.

Pemberian pembelajaran hanya untuk kompetensi/materi yang belum diketahui peserta didik.

Dengan demikian tersedia waktu bagi peserta didik untuk memperoleh kompetensi/materi baru, atau bekerja dalam proyek secara mandiri sesuai dengan kapasitas maupun kapabilitas masing-masing. Perlu dijelaskan bahwa panduan penyelenggaraan pembelajaran pengayaan ini terutama terkait dengan kegiatan tatap muka untuk jam-jam pelajaran sekolah biasa. Namun demikian kegiatan pembelajaran pengayaan dapat pula dikaitkan dengan kegiatan tugas terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur.

Sekolah dapat juga memfasilitasi peserta didik dengan kelebihan kecerdasan dalam bentuk kegiatan pengembangan diri dengan spesifikasi pengayaan kompetensi tertentu, misalnya untuk bidang sains. Pembelajaran seperti ini diselenggarakan untuk membantu peserta didik mempersiapkan diri mengikuti kompetisi tingkat nasional maupun internasional seperti olimpiade internasional fisika, kimia dan biologi.

Sebagai bagian integral dari kegiatan pembelajaran, kegiatan pengayaan tidak lepas kaitannya dengan penilaian. Penilaian hasil belajar kegiatan pengayaan, tentu tidak sama dengan kegiatan pembelajaran biasa, tetapi cukup dalam bentuk portofolio, dan harus dihargai sebagai nilai tambah (lebih) dari peserta didik yang normal.

Senin, 28 Juni 2010

Pramuka

Minggu, 20 Juni 2010

Tari Dolalak

Sabtu, 19 Juni 2010

Tari Kukila

KONSEP EVALUASI PROGRAM

A. Pengertian Program dan Evaluasi Program


Ada tiga istilah yang digunakan dan perlu disepakati pemakainya, sebelum disampaikan uraian lebih jauh tentang evaluasi program, yaitu “evaluasi” (evaluation), “pengukuran” (meansurement), dan “penilaian” (assessment).

Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris). Kata tersebut diserap ke dalam perbendaharaan istilah bahasa Indonesia dengan tujuan mempertahankan kata aslinya dengan sedikit penyesuaian lafal Indonesia menjadi “evaluasi”. Istilah “penilaian” merupakan kata benda dari “nilai”. Pengertian “pengukuran” mengacu pada kegiatan membandingkan sesuatu hal dengan satuan ukuran tertentu, sehingga sifatnya menjadi kuantitatif. Di dalam buku ini, ketiga istilah tersebut akan digunakan bergantian tanpa mengubah makna pembahasan.

Bagaimanakah kita mengartikan “evaluasi”? Ada beberapa kamus dapat dijadikan sumber acuan. Definisi yang dituliskan dalam kamus Oxford Advanced Learners”s Dictionary of Current English (AS Hornby, 186) evaluasi adalah to find out, decide the amount or value yang artinya suatu upaya untuk menetukan nilai atau jumlah. Selain arti berdasarkan terjemahan, kata-kata yang terkandung di dalam definisi tersebut pun menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi harus dilakukan secara hati-hati, bertanggung jawab, menggunakan strategi, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Suchman (1961 dalam Anderson, 1975) memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Definisi lain dikemukakan oleh Worthen dan Sanders (1973 dalam Anderson, 1971). Dua ahli tersebut mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu; dalam mencari sesuatu tersebut, juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program, produksi, produser, serta alternatif srategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Seorang ahli yang sangat terkenal dalm evaluasi program bernama Stufflebeam (1971, dalam Fernandes 1984) mengatakan bahwa evaluasi merupakan proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambilan keputusan dalam menentukan alternatif keputusan.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan.

Sampai dengan kira-kira tahun 1974 masyarakat masih menganggap bahwa evaluasi pendidikan terbatas pengertiannya pada penilaian hasil belajar. Dasar pemikiran yang digunakan adalah bahwa pendidikan merupakan upaya memberikan satu perlakuan pembelajaran kepada peresta didik. Kesuksesan hasil belajar mereka dapat diketahui melalui kegiatan penilaian. Di balik dasar pemikiran tersebut terdapat pula anggapan bahwa upaya pendidik dalam penyelenggarakan kegiatan pembelajaran adalah kunci keberhasilan untuk mencapai hasil belajar peserta didik. Dapat diasumsikan bahwa di antara pembelajaran dengan hasil belajar merupakan hubungaan lurus atau linier.

Setelah para pendidik merasakan, mencermati keadaan, dan tidak henti-hentinya mengadakan penelitian, diketahui bahwa pembelajaran bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan dalam mencapai prestasi belajar. Ada hal yang juga berpengaruh dan menentukan tinggi rendahnya prestasi belajar peserta didik, yaitu:

1. Keadaan fisik dan psikis siswa, yang ditunjukan oleh IQ (kecerdasan intelektual), EQ (kecerdasan emosi), kesehatan, motivasi, ketekunan, ketelitian, keuletan, dan minat.

2. Guru yang mengajar dan membimbing siswa, seperti latar belakang penguasaan ilmu, kemampuan mengajar, perlakuan guru terhadap siswa.

3. Sarana pendidikan, yaitu ruang tempat belajar, alat-alat belajar, media yang digunakan guru, dan buku sumber belajar

Dari tiga contoh faktor yang sudah dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara pembelajaran dengan hasil atau prestasi siswa bukan hanya bersifat garis lurus, tetapi bisa bercabang dari faktor-faktor lain. Misalnya, faktor guru, siswa, dan sarana yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa.

Ada dua pengertian untuk istilah “program”, yaitu pengertian secara khusus dan umum. Menurut pengertian secara umum, “program” dapat diartikan “rencana”. Jika seorang siswa ditanya oleh guru, apa programnya sesudah lulus dalam menyelesaikan pendidikan di sekolah yang diikuti maka arti “program” dalam kalimat tersebut adalah rencana atau rancangan kegiatan yang akan dilakukan setelah lulus. Rencana ini mungkin berupa keinginan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, mencari pekerjaan, membantu orang tua dalam membina usaha, atau mungkin juga belum menentukan program apapun. Selain itu, ada juga anak yang sangat tergantung pada orang tua sehingga akan memberi jawaban bahwa program masa depan menunggu keputusan orang tua.

Apabila “program” ini langsung dikaitkan dengan evaluasi program maka program didefinisikan sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang. Ada tiga pengertian penting dan perlu ditekankan dalam menetukan program, yaitu (1) realisasi atau implementasi suatu kebijakan, (2) terjadi dalam waktu relatif lama-bukan kegiatan tunggal tetapi jamak-berkesinambungan, dan (3) terjadi dalam organisasi yang melibatkan sekelompok orang.

Sebuah program bukan hanya kegiatan tunggal yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat, tetapi merupakan kegiatan yang berkesinambungan karena melaksanakan suatu kegiatan. Oleh karena itu, sebuah program dapat berlangsung dalam kurun waktu relatif lama. Pengertian program adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan yang dilakukan bukan hanya satu kali tetapi berkesinambungan. Pelaksanaan program selalu terjadi di dalam sebuah organisasi yang artinya harus melibatkan sekelompok orang. Pengertian program yang dikemukakan di atas adalah pengertian secara umum.

Dalam kehidupan, terdapat juga program yang berlangsung hanya dalam waktu singkat, misalnya program peringatan Hari Pahlawan. Upacara peringatan dapat diklasifikasi sebagai program karena mengandung beberapa komponen dan dirancang melalui serangkaian rapat, tetapi pelaksanannya hanya sebentar. Perbedaan antara program sempurna yang memenuhi ciri-ciri di atas dengan yang mempunyai penyimpangan dapat kita ketahui dan pahami pada penjelasan bab-bab berikutnya.

Selain mengandung tiga pengertian, ada pula program-program tertentu yang menunjukan ciri lain, yaitu adanya kegiatan jamak yang merupakan rangkaian. Untuk memperjelas pengertian “jamak berangkai”, coba bandingkan beberapa kegiatan tunggal dan jamak berikut ini. Kegiatan menulis, berjalan, tidur, adalah sekali dilakukan selesai, dan tidak berada dalam urutan proses. Bandingkan dengan memasak. Memasak adalah kegiatan jamak, karena untuk dapat memasak harus ada bahan yang dibeli dan dimasak. Sesudah memasak, hasil masakannya dimakan.

Pembelajaran adalah kegiatan jamak karena melalui urutan dari penyusunan kurikulum di pusat, pembuatan Analisis Materi Pelajaran (AMP), pembuatan rencana mengajar, pelaksanan kegiatan belajar mengajar, yaitu pembelajaran dan evaluasi prestasi belajar. Di dalam rangkaian proses tersebut, kegiatan awal yang mendahului merupakan faktor penentu keberhasilan kegiatan berikut.

Apa alasan melakukan evaluasi program dan sejak kapankah evaluasi program mulai populer? Menurut Fernandes (1984), pemikiran secara serius tentang evaluasi program dimulai sekitar tahun delapan puluhan. Sejak tahun 1979-an telah terjadi perkembangan sehubungan dengan konsep-konsep rang berkenaan dengan eveluasi program, sebagai contoh teori yang dikemukakan oleh Cronbach (1982 dalam Fernandes 1984) tentang pentingnya rancangan dalam kegiatan evaluasi program.

Makna dari evaluasi program itu sendiri mengalami proses pemantapan. Definisi yang terkenal untuk evaluasi program dikemukakan oleh Ralph Tyler, yang mengatakan bahwa evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pandidikan sudah dapat terealisasikan (Tyler, 1950). Definisi yang lebih diterima masyarakat luas dikemukakan oleh dua orang ahli evaluasi, yaitu Cronbach (1963) dan Stufflebeam (1971). Mereka mengemukakan evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan. Sehubungan dengan definisi tersebut The Standford Evaluation Consortium Group menegaskan bahwa meskipun evaluator menyediakan informasi, evaluator bukanlah pengambil keputusan tentang suatu program (Cronbach, 1982).

Ronal G. Schnee (1977 dalam Gilbert Sax, 1975) mengatakan bahwa karena alasan politik dan sosial evaluator program sering dihadapkan pada sebuah dilema pertimbangan etis. Dari hasil penelitian Schnee menyimpulkan adanya sebelas isu, yaitu

1. Otonomi

Isu ini terkait dengan sikap personel yang terlibat dalam program, misalnya guru dan kepala sekolah. Bagaimana mereka tidak terpengaruh dengan keinginan menyanjung program ketika diminta untuk mengevaluasi?

2. Hubungan dengan klien

Isu ini menyangkut evaluator ketika melaksanakan evaluasi harus bekerja sama dengan klien, yaitu orang-orang yang ada di dalam program.

3. Kenyataan politik dan konteks sosial

Dalam mengevaluasi program evaluator tidak boleh mengabaikan kejadian politik dan sosial, agar hasil kerja dapat bermanfaat.

4. Nilai yang dimiliki evaluator

Dalam melaksanakan evaluasi tidak mungkin evaluator dapat melepaskan diri dari nilai-nilai yang dianut dan dijadikan pedoman hidupnya.

5. Pemilihan rancangan dan metodologi

Untuk memperoleh hasil rancangan yang maksimal dari kerja evaluasi, seyogianya evaluator dapat mempertimbangkan berbagai unsur dan mengadakan kompromi.

6. Memberi kesempatan kepada orang lain untuk menelaah (review) rancangan

Alasan untuk mengadakan tilik ulang adalah mengurangi adanya bias dan pemborosan.

7. Kujujuran mengakui keterbatasan dan hambatan

Laporan evaluasi harus mencantumkan penjelasan tentang hal-hal yang dihadapi evaluator sebagai akibat adanya keterbatasan dan hambatan.

8. Hasil negatif

Evaluator perlu menyertakan hasil negatif agar data yang dilaporkan lengkap dan berguna untuk meningkatan program.

9. Penyebaran hasil

Mengingat tujuan evaluasi program adalah mengumpulkan informasi bagi tindak lanjut program maka hasil evaluasi sangat perlu untuk disebarluaskan.

10. Perlindungan dari pelanggaran

Program merupakan hasil kebijakan yang diatur oleh peraturan. Oleh karena itu, evaluasi tidak boleh melanggar hal yang dilindungi.

11. Penolakan terhadap kontrak

Meskipun evaluasi ini penting namun pelaksana program berhak menolak evaluator dengan alasan yang tepat.


B. Komponen dan Indikator Program

Program merupakan sistem. Sedangkan, sistem adalah satu kesatuan dari beberapa bagian atau komponen program yang saling kait-mengait dan bekerja sama satu dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan dalam sistem. Dengan begitu, program terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan dan saling menunjang dalm rangka mencapai suatu tujuan.

Komponen program adalah bagian-bagian program yang saling terkait dan merupakan faktor-faktor penentu keberhasilan program. Karena suatu program merupakan sebuah sistem dan dikenal dengan istilah “subsistem”. Komponen atau subsistem merupakan bagian dari suatu program yang berupa kata benda, harus disebut dalam kata benda. Andai kata kita ingin mengetahui sabar dan tidaknya seseorang maka yang diukur bukan “sabar”, tetapi “kesabaran” jika akan mengetahui indah dan tidaknya taman, yang diukur bukan “indah” tetapi “keindahan”. Jadi kata keadaan atau kata sifat, kalau distatuskan sebagai komponen, harus diubah nama dalam bentuk kata benda, atau dengan kata lain harus dibendakan dahulu.

Menurut pengertian atau konsep umum, di dalam sebuah sistem, subsistem yang ada saling terkait dan saling mempengaruhi. Sistem sendiri berada di dalam sebuah naungan yang lebih besar yang dikenal dengan istilah “suprasistem”. Dalam suprasistem, sistem-sistem yang ada di bawah naungannya saling berkaitan dan bekerja sama menuju pencapaian tujuan suprasistem dimaksud. Sebagai contoh kaitan antara suprasistem, sistem, dan subsistem dalam dunia pendidikan adalah Departemen Pendidikan Nasional, sekolah, dan pembelajaran di kelas.

Dengan dipahaminya pembelajaran sebagai sebuah sistem maka dikatakan bahwa pembelajaran terjadi dalam sebuah program. Hubungan antara pembelajaran dengan prestasi atau hasil belajar tidak hanya digambarkan sebagai garis lurus tetapi saling hubungan antarsubsistemnya, yaitu siswa, guru, sarana belajar, kurikulum, lingkungan dan kegiatan pembelajaran itu sendiri. Selain yang sudah disebutkan, masih terdapat satu subsistem lain yang juga merupakan suatu faktor penentu nilai hasil belajar, yaitu evaluasi dalam (termasuk di dalamnya soal yang diberikan, cara mengawasi, kondisi fisik, cara menilai, situasi waktu evaluasi dilaksanakan, waktu yang disediakan, psikis siswa, dan sarana).

Jika hubungan jamak antarsubsistem pembelajaran dikaitkan antara satu dengan yang lainnya, akan dipahami bahwa siswa merupakan bahan mentah yang dilibatkan dalam proses pembelajaran, sedangkan hasil belajar merupakan keluar dari sistem dan subsistem lain yang mempunyai sumbangan terhadap pembelajaran, yang secara langsung berpengaruh terhadap hasil belajar.

Melalui penjelasan tentang kaitan antarkomponen pembelajar diketahui bahwa evaluasi hasil belajar merupakan salah satu di antara beberapa komponen program pembelajaran. Dengan bertitik tolak pada komponen tersebut bahwa evaluasi hasil pembelajaran hanya merupakan bagian dari evaluasi program pembelajaran. Jadi jelas, keberhasilan suatu program sangat ditentukan oleh komponen-komponen yang membentuk suatu program. Selain itu, evaluasi atau penilaian yang dimaksudkan untuk mengukur mutu hasil belajar juga dilakukan untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Informasi yang lebih rinci tentang sejauh mana ketercapaian dan kekurangtercapaian tujuan dapat diperoleh dengan cara mencermati bagian-bagian yang lebih kecil dari komponen sehingga diketahui dengan pasti letak penyebabnya. Hal ini berarti bahwa penilai harus memahami indikator-indikator dalam setiap komponen.

Indikator berasal dari kata dasar bahasa Inggris to indicate, artinya menunjukan. Dengan demikian maka indikator berarti alat penunjuk atau “sesuatu yang menunjukan kualitas sesuatu”. Contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah kue dapat dikatakan bermutu jika rasanya lezat. Maka “rasa” menunjukan kualitas kue, rasa merupakan indikator dari kualitas kue. Contoh lain, kualitas siswa cerdas ditunjukkan dengan nilai prestasi. Maka nilai prestasi belajar merupakan indikator dari kualitas kecerdasan. Untuk contoh terakhir ini, kecerdasan dapat distatuskan sebagai komponen, dan nilai prestasi sebagai indikator.

Jika kita menyimpulkan bahwa seorang siswa itu cerdas dengan indikator kecerdasan siswa bukan hanya nilai prestasi, tetapi juga kecepatan reaksi, kecepatan kerja dan daya kritis siswa maka indikator kecerdasan dalam nilai prestasi, kecepatan reaksi, kecepatan kerja dan daya kritis. Kesimpulan dari penjelasan tersebut adalah bahwa untuk menentukan tinggi rendahnya kecerdasan, seseorang harus mempertimbangkan tinggi rendahnya nilai prestasi, cepat tidaknya reaksi, cepat tidaknya kerja, dan tinggi rendahnya daya kritis. Tentang bagaimana mengidentifikasi indikator, akan dibicarakan dalam bagian-bagian berikut, baik secara terpisah maupun terlampir dalam uraian lain.

Evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui efektifitas komponen program dalam mendukung pencapaian tujuan program. Dengan demikian, jika diketahui bahwa hasil belajar (sebagai harapan dari program pembelajaran) tidak memuaskan, dapat dicari di mana letak kekurangannya atau komponen mana yang bekerja tidak dengan semestinya.

Setiap kegiatan yang merupakan realisasi dari suatu kebijakan harus dirancang dengan cermat dan teliti, supaya tujuan yang sudah ditetapkan dalam kebijakan dapat dicapai dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian maka kegiatan realisasi kebijakan merupakan sebuah program. Dengan memandang kegiatan tersebut sebagai sebuah program, ada satu keuntungan yang besar bagi para evaluator karena dapat mencermati letak kekuatan dan kelemahan program secara lebih baik.

Kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pengambil keputusan sebelum tentu dapat direalisasikan dengan baik sesuai dengan jiwa kebijakan. Untuk mengetahui seberapa jauh dan bagian mana dari tujuan yang sudah dicapai dan bagian mana yang belum tercapai serta apa penyebabnya, perlu adanya evaluasi program. Tanpa ada evaluasi, keberhasilan dan kegagalan program tidak dapat diketahui. Uraian tersebut dapat disimpulkan dalam sebuah definisi sebagai berikut. Evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan suatu kebijakan secara cermat dengan cara mengetahui efektifitas masing-masing komponennya.



C. Manfaat Evaluasi Program

Dalam organisasi pendidikan, evaluasi program dapat disamaartikan dengan kegiatan supervisi. Secara singkat, supervisi diartikan sebagai upaya mengadakan peninjauan untuk memberikan pembinaan maka evaluasi program adalah langkah awal dalam supervisi, yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula.

Kesalahan yang terjadi di masyarakat beberapa waktu yang lalu, yaitu supervisi hanya menekankan aspek ketatausahaan saja. Jika konsep seperti itu maka ada perbedaan antara eveluasi program dengan supervisi. Jika supervisi di lembaga pendidikan dilakukan dengan objek buku-buku dan pekerjaan clerical work maka evaluasi program dilakukan dengan objek lembaga pendidikan secara keseluruhan. Kebijakan supervisi yang berlangsung saat ini dapat dikatakan sama dengan evaluasi program, tetapi sarananya ditekankan pada kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain, prestasi belajar menjadi titik pusat perhatian. Oleh karena tujuan utamanya memperhatikan prestasi belajar bidang studi atau mata pelajaran maka supervisor (yang di dalam praktik disebut pengawas), disaratkan memiliki latar belakang studi tertentu dan harus memiliki pengalaman menjadi guru. Dilihat dari ruang lingkupnya, supervisi dibedakan menjadi 3, yaitu (1) supervisi kegiatan pembelajaran, (2) supervisi kelas, dan (3) supervisi sekolah.

Berdasarkan pengertian tadi, supervisi sekolah yang diartikan sebagai evaluasi program, dapat disamaartikan dengan validasi lembaga dan akreditasi. Evaluasi program merupakan langkah awal dari proses akreditasi dan validasi lembaga. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: evaluasi program pendidikan tidak lain adalah supervisi pendidikan dalam pengertian khusus, tertuju pada lembaga secara keseluruhan.

Apa hubungan antara evaluasi program dengan kebijakan? Program adalah rangkaian kegiatan sebagai realisasi dari suatu kebijakan. Apabila suatu program tidak dievaluasi maka tidak dapat diketahui bagaimana dan seberapa tinggi kebijakan yang sudah dikeluarkan dapat terlaksana. Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan hasil evaluasi program itulah para pengambil keputusan akan menentukan tidak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud dari hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari evaluator untuk mengambil keputusan (decision maker). Ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil dalam pelaksanaan sebuah program keputusan, yaitu:

1. Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.

2. Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya sedikit).

3. Melanjutkan, karena pelaksanaan program menunjukan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat.

4. Menyebarluaskan program (melaksanakan program ditempat-tempat lain atau mengulangi lagi dilain waktu), karena program tersebut berhasil dengan baik maka yang baik jika dilaksanakan lagi ditempat dan waktu yang lain.



D. Evaluator Program

Siapakah yang melakukan evaluasi program? Pertanyaan tersebut tidak lain diajukan untuk menyebutkan siapa yang menjadi evaluator program. Apakah semua orang berhak menjadi evaluator program? Tentu saja tidak. Untuk dapat menjadi evaluator, seseorang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Mampu melaksanakan, persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh evaluator adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan evaluator yang didukung oleh teori dan ketrampilan paktik.

2. Cermat, dapat melihat celah-celah dan detail dari program serta bagian program yang akan dievaluasi.

3. Objektif, tidak mudah dipengaruhi oleh keingainan pribadi agar dapat mengumpulkan data sesuai dengan keadaannya, selanjutnya dapat mengambil kesimpulan sebagaimana diatur oleh ketentuan yang harus diikuti.

4. Sabar dan tekun, agar di dalam melaksanakan tugas di mulai dari membuat rancangan kegiatan dalam bentuk menyusun proposal, menyusun instrument, mengumpulkan data, dan menyusun laporan, tidak gegabah dan tergesa-gesa.

5. Hati-hati dan bertanggungjawab, yaitu melakukan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada kekeliruan yang diperbuat, berani menanggung resiko atas segala kesalahannya.

Berdasarkan persyaratan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang dapat menjadi evaluator. Pertanyaan lain dapat diajukan sesudah memenuhi persyaratan dalah apakah yang bersangkutan diperbolehkan menjadi evaluator? Pertanyaan tersebut sebetulnya menyangkut pertimbangan dari mana orang yang menjadi eveluator diambil.

Ada dua kemungkinan asal (dari mana) orang untuk dapat menjadi evaluator program ditinjau dari program yang akan dievaluasi. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menentukan asal eveluator harus mempertimbangkan keterkaitan orang yang bersangkutan dengan program yang akan dievaluasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut evaluator dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu (1) evaluator dalam dan (2) evaluator luar.



1. Evaluator Dalam (Internal Evaluator)

Yang dimaksud dengan evaluator dalam adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksana program yang dievaluasi. Adapun kelebihan dan kekurangan dari evaluator dalam, yaitu:

Kelebihan:

1) Evaluator memahami betul program yang akan dievaluasi sehingga kekhawatiran untuk tidak atau kurang tepatnya sasaran tidak perlu ada. Dengan kata lain, evaluasi tepat pada sasaran.

2) Karena evaluator adalah orang dalam, pengambilan keputusan tidak perlu banyak mengeluarkan dana untuk membayar petugas evalusi.



Kekurangan:

1) Adanya unsur subjektivitas dari evaluator, sehingga berusaha menyampaikan aspek positif dari program yang dievaluasi dan menginginkan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik pula. Dengan kata lain, evaluator internal dapat dikhawatirkan akan bertindak subjektif.

2) Karena sudah memahami seluk-beluk program, jika evaluator yang ditunjuk kurang sabar, kegiatan evaluasi akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa sehingga kurang cermat.



2. Evaluator Luar (External Evaluator)

Yang dimaksud dengan evaluator luar adalah orang-orang yang tidak terkait dengan kebijakan dan implementasi program. Mereka berada di luar dan diminta oleh pengambil keputusan untuk mengevaluasi keberhasilan program atau keterlaksanaan kebijakan yang sudah diputuskan. Melihat bahwa status mereka berada di luar program dan dapat bertindak bebas dengan keinginan mereka sendiri maka tim evaluator luar ini biasa dikenal dengan nama tim bebas atau independen team.



Kelebihan:

1) Oleh karena tidak berkeprntingan atas keberhasilan program maka evaluasi luar dapat bertindak secara objektif selama melaksanakan evaluasi dan mengambil kesimpulan. Apa pun hasil evaluasi, tidak akan ada respons emosional dari evaluator karena tidak ada keinginan untuk memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil. Kesimpulan yang dibuat akan lebih sesuai dengan keadaan dan kenyataan.

2) Seorang ahli yang dibayar, biasanya akan mempertahankan kredibilitas kemampuannya. Dengan begitu, evaluator akan bekerja secara serius dan hati-hati.



Kekurangan:

1) Evaluator luar adalah orang baru, yang sebelumnya tidak mengenal kebijakan tentang program yang akan dievaluasi. Mereka berusaha mengenal dan mempelajari seluk-beluk program tersebut setelah mendapat permintaan untuk mengevaluasi. Mungkin sekali pada waktu mendapat penjelasan atau mempelajari isi kebijakan, ada hal-hal yang kurang jelas. Hal itu wajar karena evaluator tidak ikut dalam proses kegiatannya. Dampak dari ketidakjelasan pemahaman tersebut memungkinkan kesimpulan yang diambil kurang tepat.

2) Pemborosan, pengambil keputusan harus mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk membayar evaluator bebas.



Melihat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing evaluator, timbul pertanyaan: evaluator manakah yang lebih baik? Sebaiknya, orang yang ditunjuk sebagai evaluator berasal dari dalam dan luar program, yaitu gabungan antara orang-orang di dalam program atau unsur kebijakan, digabung dengan orang-orang dari luar. Dengan demikian, orang dalam dapat menjelaskan kepada orang luar tentang kebijakan yang tepat, sehingga diperkirakan tidak akan terjadi manipulasi hasil. Hal ini akan menguntungkan pengambil keputusan atau pelaksana program.

Perbedaan menonjol antara evaluator dalam dan evaluator luar adalah adanya satu langkah penting sebelum mereka mulai melaksanakan tugas. Oleh karena evaluator luar adalah pihak asing yang tidak tahu-menahu dan tidak berkepentingan dengan program, yang diasumsikan belum memahami seluk-beluk program maka terlebih dahulu tim tersebut perlu mempelajari program yang akan dievaluasi.

Hal-hal yang harus dipelajari oleh seorang evaluator meliputi tujuan program, koponen program, siapa pelaksananya, dan pihak-pihak mana yang terlibat, kegiatan apa saja yang sudah dilaksanakan, dan gambaran singkat tentang sejauh mana tujuan program sudah dicapai.

Sesudah tin evaluator betul-betul memahami program, barulah mereka mulai menyusun rencana atau desain evaluasi. Dalam proses memantapkan desain dan instrumen (paling tidak kisi-kisi instruman) tim evaluator sebaiknya masih terus berhubungan dengan salah seorang personel atau lebih baik lagi jika dapat melibatkan penanggung jawab program agar ketika sampai pada saatnya harus mengumpulkan data, evaluator tidak ragu-ragu lagi dalam melangkah.



E. Tujuan dan Sasaran Evaluasi Program

Pada kajian lalu sudah disimpulkan bahwa program adalah sebuah kegiatan sebagai implementasi kebijakan. Setiap kegiatan tentu mempunyai tujuan, demikian juga dengan evaluasi program. Pada bagian ini, akan dipaparkan mengenai tujuan program dan tujuan evaluasi program yang juga disertai beberapa contoh.

1. Kaitan antara Tujuan Program dengan Tujuan Evaluasi Program

Secara singkat evaluasi program merupakan upaya untuk mengukur ketercapaian program, yaitu mengukur sejauh mana sebuah kebijakan dapat terimplementasikan.

Berikut ini beberapa contoh kegiatan sederhana yang merupakan program dan yang bukan program.

a. Kegiatan membaca

tujuan kegiatan ini adalah untuk menangkap isi bacaan. Sedangkan tujuan evaluasi kegiatan adalah untuk mengetahui apakah pembaca dapat menangkap isi bacaan yang dibaca.

b. Program seminar

tujuan program ini adalah untuk membahas sesuatu topik di dalam forum peserta seminar. Sedangkan tujuan evaluasi program ini adalah untuk mengetahui (melalui pengumpulan data) apakah topik yang diajukan dalam seminar sempat dibahas, dan apakah peserta seminar mempunyai kesempatan untuk membahas topik yang diajukan dalam forum seminar.

c. Program usaha kesehatan sekolah (UKS)

Tujuan program ini adalah untuk mengatasi masalah kesehatan siswa dan personel lain di sekolah yang bersangkutan. Sedangkan tujuan evaluasi programnya adalah untuk mengumpulkan informasi tentang tertanganinya masalah kesehatan di sekolah, antara lain untuk mengetahui apakah layanan yang diberikan oleh UKS memuaskan bagi para siswa dan personel sekolah lainnya.

Dari ketiga contoh di atas, dapat ditentukan mana kegiatan yang merupakan penelitian dan mana yang penelitian tetapi juga sekaligus evaluasi program. Evaluasi program dilakukan dengan cara yang sama dengan penelitian. Jadi, evaluasi program adalah penelitian yang mempunyai ciri khusus, yaitu melihat keterlaksanaan program sebagai realisasi kebijakan, untuk menentukan tindak lanjut dari program dimaksud.

Terdapat banyak persamaan antara penelitian dengan evaluasi. Pendekatan, instrumen, dan langkah-langkah yang digunakan pun bisa sama. Keduanya dimulai dari menentukan sasaran (variabel), membuat kisi-kisi, menyusun instrumen, mengumpulkan data, analisis data, dan mengambil kesimpulan, yang membedakan adalah akhirnya. Jika kesimpulan penelitian diikuti dengan saran maka evaluasi program selalu harus mengarah pada pengambilan keputusan.

Dari penjelasan tambahan diatas diketahui bahwa evaluasi program diarahkan pada perolehan rekomendasi sehingga tujuan evaluasi program tidak boleh terlepas dari tujuan program itu merupakan dasar untuk merumuskan tujuan evaluasi program. Secara singkat dapat dibuat sebuah ketentuan bahwa: Tujuan evaluasi program harus dirumuskan dengan titik tolak tujuan program yang dievaluasi.

Agar pengukuran tujuan dapat diketahui secara cermat dan teliti sampai diketahui sisi positif dan negatifnya, dapat menunjukkan bagaimana dari kebijakan yang dapat diimplementasikan dan mana yang tidak dapat diimplementasikan, serta apa penyebabnya maka tujuan evaluasi perlu dirinci. Jika Anda sudah belajar tentang teori mengajar maka Anda dapat membandingkan tujuan evaluasi program dengan tujuan pembelajaran, yaitu tujuan pembelajaran umum (TPU) dan tujuan pembelajaran khusus (TPK). Cara merumuskan juga tidak jauh berbeda.

Ada dua macam tujuan evaluasi, yaitu umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan pada program secara keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan pada masing-masing komponen. Agar dapat melakukan tugasnya maka seorang evaluator program dituntut untuk mampu mengenali komponen-komponen program.

Dalam menentukan tujuan program, evaluator program harus dapat menangkap harapan dari penentu kebijakan yang mungkin bertindak sebagai pengelola, atau mungkin juga tidak. Sebelum melakukan evaluasi, kita harus mencermati tujuan program dan merenungkan apa yang menjadi tujuan evaluasi program? Pada bagian yang lalu sudah disebutkan bahwa tujuan evaluasi program dirumuskan bertitik tolak pada tujuan program. Apakah arti kalimat tersebut dan sejauh mana keterkaitannya?

Untuk mempermudah mengidentifikasi tujuan evalausi program, kita harus memperhatikan unsur-unsur dalam kegiatan atau penggarapannya. Ada tiga unsur yang penting di dalam kegiatan atau penggarapan suatu kegiatan, yaitu

a. what = apa yang digarap

b. who = siapa yang menggarap, dan

c. how = bagaimana menggarapnya.

Dengan memfokuskan perhatian pada tiga unsur kegiatan tersebut, paling sedikit dapat diidentifikasi adanya 3 (tiga) komponen kegiatan, yaitu tujuan, pelaksana kegiatan, dan prosedur/teknik pelaksana.



2. Sasaran Evaluasi Program

Pada kajian tentang kaitan antara program dengan evaluasi program, sudah dijelaskan mengenai komponen program dan bagaimana cara merumuskan tujuan berdasarkan dua macam tujuan evaluasi, yaitu umum dan tujuan khusus dengan bertitik tolak pada tujuan program dan kondisi harapan untuk setiap komponen programnya.

Sedangkan untuk menentukan sasaran evalusi, evaluator perlu mengenali program dengan baik, terutama komponrn-komponennya. Karena yang menjadi ssasaran evaluasi bukan program secara keseluruhan tetapi komponen atau bagian program.

Mengapa sasaran evaluasi tertuju pada komponen? Seperti alasan mengapa tujuan umum harus dijabarkan menjadi tujuan khusus maka sasaran evaluasi diarahkan pada komponen agar pengamatannya dapat lebih cermat dan data yang dikumpulkan lebih lengkap. Untuk itulah maka evaluator harus memiliki kamampuan mengidentifikasi komponen program yang akan dievaluasi.



F. Kriteria Evaluasi Program

Program adalah realisasi dari suatu kebijakan. Sedangkan evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui tingkatketerlaksaan program, atau dengan kata lain, untuk mengetahui implementasi dari suatu kebijakan. Dengan demikian, kegiatan evaluasi program mengacu pada tujuan, dengan kata lain, tujuan tersebut dijadikan ukuran keberhasilan. Pertanyaannya, apakah perbedaan antara evaluasi program dengan penelitian? Atau bagaimana perbandingan antara evaluasi program dengan penelitian? Di depan sudah disinggung secara singkat persamaan dan perbedaan antara penelitian denagan evaluasi program. Perbedaan yang sangat mencolok terletak pada arah kegiatannya. Evaluasi program mempunyai ukuran keberhasilan, yang dikenal dengan istilah kriteria. Oleh karena dalam evaluasi program kedudukan kriteria sangat penting maka perlu dibicarakan secara mendalam.



1. Pengertian Kriteria

Istilah “kriteria” dalam penilaian sering juga dikenal dengan kata “tolok ukur” atau “standar”. Dari nama-nama yang digunakan tersebut dapat segera dipahami bahwa kriteria, tolok ukur, atau standar, adalah sesuatu yang digunakan sebagai patokan atau batas minimal untuk sesuatu yang diukur. Kriteria atau standar dapat disamakan dengan “takaran”. Jika untuk mengetahui berat beras digunakan timbangan, panjangnya beda digunakan meteran maka kriteria atau tolok ukur digunakan untuk menakar kondisi objek yang dinilai.

Tentang batas yang ditunjuk oleh kriteria, sebagian orang mengatakan bahwa tolok ukur adalah “batas atas”, artinya batas maksimal yang harus dicapai. Sementara sebagian orang lainnya mengatakan bahwa tolok ukur atau kriteria adalah “batas bawah”, yaitu batas minimal yang harus dicapai. Dapat disimpulkan bahwa kriteria atau tolok ukur itu bersifat jamak karena menunjukkan batas atas dan batas bawah, sekaligus batas-batas di antaranya. Dengan demikian kriteria menunjukkan gradasi atau tingkatan, dan ditunjukkan dalam bentuk kata keadaan atau predikat.

Permasalahan di dalam kriteria evaluasi program adalah aturan tentang bagaimana menentukan peringkat-peringkat kondisi sesuatu atau rentangan-rentangan nilai, agar data yang diperoleh dapat dipahami oleh orang lain dan bermakna bagi pengambilan keputusan dalm rangka menentukan kebijakan lebih lanjut. Jika evaluator tidak berniat membuat kriteria khusus, sebaiknya menggunakan kriteria yang sudah lazim digunakan dan dikenal oleh umum, misalnya skala 1-10 atau skala 1-100.

Dari mana sebuah angka diperoleh atau bagaimana menetukan suatu angka? Misalnya seorang guru memberikan nilai akhir untuk pengisian rapor adalah angka “7”. Untuk menentukan angka 7 tersebut seorang guru mempertimbangkan beberapa hal. Komponen yang membentuk nilai misalnya ulangan harian, ulangan umum, dan tugas-tugas. Ketika guru menentukan nilai ulangan harian saja, sudah harus mempertimbangkan sekurang-kurangnya dua hal, yaitu benar-salahnya jawaban dan banyaknya soal yang dapat diselesaikan.

Jika kriteria untuk prestasi belajar menggunakan sepuluh jenjang penilaian, yaitu 1 sampai dengan 10, atau 1 sampai dengan 100 (meskipun tidak semua digunakan secara rutin), untuk nilai dalam evaluasi program pada umumnya menggunakan kriteria atau tolok ukur lima jenjang. Namun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan tiga jenjang atau tujuh jenjang.

Apakah memang harus gasal? Tentang gasal dan genapnya jenjang kriteria ada kelebihan dan kekurangan, jika jenjangnya gasal, berarti ada nilai di tengah untuk menyatakan “Cukup” atau “Sedang”. Ada sebagaian ahli yang “mencurigai” penggunaan nilai tengah karena dikhawatirkan untuk responden yang ragu-ragu dalam menetukan pilih, akan dengan cepat memilih nilai tengah. Untuk menghindari hal ini penyusun mencantumkan pilihan nilai tengah. Untuk itu banyaknya pilihan bisa 2, 4 atau 6, jika pilhan terlalu banyak, dikhawatirkan justru akan membingungkan responden dan dikatakan terlalu njlimet.



2. Mengapa Perlu Ada Kriteria?

Kriteria atau tolok ukur perlu dibuat oleh evaluator karena evaluator terdiri dari beberapa orang yang memerlukan kesepakatan di dalam menilai. Selain alasan sederhana tersebut, ada beberapa alasan lain yang lebih luas dan dapat lebih dipertanggungjawabkan, yaitu:

a. Dengan adanya kriteria atau tolok ukur, evaluator dapat lebih mantap dalam malakukan penilaian terhadap objek yang akan dinilai karena ada patokan yang diikuti.

b. Kriteria atau tolok ukur yang sudah dibuat dapat digunakan untuk menjawab atau mempertanggungjawabkan hasil penilaian yang sudah dilakukan, jika ada orang yang ingin menelusuri lebih jauh atau ingin mengaji ulang.

c. Kriteria atau tolok ukur digunakan untuk mengekang masuknya unsur subjektif yang ada pada diri penilai. Dengan adanya kriteria maka dalam melakukan evaluasi, evaluator dituntun oleh kriteria, mengikuti butir demi butir, tidak mendasarkan diri atas pendapat pribadi (yang mungkin sekali “dikotori” oleh seleranya)

d. Dengan adanya kriteria atau tolok ukur maka hasil evaluasi akan sama meskipun dilakukan dalam waktu yang berbeda dan dalam kondidi fisik penilai yang berbeda pula. Misalnya penilai sedang dalam kondisi badan yang masih segar atau dalam keadaan lelah hasilnya akan sama.

e. Kriteria atau tolok ukur memberikan arahan kepada evaluator apabila banyak evaluator lebih dari satu orang. Kriteria atau tolok ukur yang baik akan ditafsirkan sama oleh siapa saja yang menggunakannya.



3. Apa Dasar Pembuatan Kriteria.

Yang dimaksud dengan istilah “dasar” dalam pembuatan standar atau kriteria adalah sumber pengambilan kriteria secara keseluruhan. Dengan pengertian bahwa kriteria adalah suatu ukuran yang menjadi patokan yang harus dicapai maka kriteria tersebut harus “top” kondisinya. Timbul pertanyaan, dari manakah yang “top” itu diambil? Mengingat banyaknya objek yang diukur dan dengan harapan serta kondisi yang berbeda-beda maka ada beberapa sumber pembuatan kriteria. Kriteria atau tolok ukur sebaiknya dibuat bersama, dan sebaiknya dibuat oleh orang-orang yang akan menggunakan tidak ada masalah karena mereka sudah memahami, bahkan tahu apa yang melatarbelakangi.



a. Sumber Pertama

Apabila yang dievaluasi merupakan suatu implementasi kebijakan maka yang dijadikan sebagai kriteria atau tolok ukur adalah peraturan atau ketentuan yang sudah dikeluarkan berkenaan dengan kebijakan yang bersangkutan. Apabila penentuan kebijakan tidak mengeluarkan ketentuan secara khusus maka penyusun kriteria menggunakan ketentuan yang pernah berlaku umum yang sudah dikeluarkan oleh pengambil kebijakan terdahulu dan belum pernah dicabut masa berlakunya.



b. Sumber Kedua

Dalam mengeluarkan kebijakan biasanya disertai dengan buku pedoman atau petunjuk pelasanaan (juklak). Di dalam juklak tertuang informasi yang lengkap, sasaran, dan rambu-rambu pelaksanaanya. Butir-butir yang tertera di dalamnya, terutama dalam tujuan kebijakan, mencerminkan harapan dari kebijakan. Oleh karena itu, pedoman atau petunjuk pelaksanaan itulah yang distatuskan sebagai sumber kriteria.



c. Sumber Ketiga

Apabila tidak ada ketentuan atau petunjuk pelaksanaan yang dapat digunakan oleh penyusun sebagai sumber kriteria maka penyusun menggunakan konsep atau teori-teori yang terdapat dalam buku-buku ilmiah.



d. Sumber Empat

Jika tidak ada ketentuan, peraturan atau petunjuk pelaksanaan, dan juga tidak ada teori yang diacu, penyusun disarankan untuk menggunakan hasil penelitian. Dalam hal ini sebaiknya tidak langsung mengacu pada hasil penelitian yang baru saja diselesaikan seorang peneliti (apalagi peneliti pemula), tetapi disarankan sekurang-kurang hasil penelitian yang sudah dipublikasikan atau diseminarkan. Jika ada, yang sudah disajikan kepada orang banyak, yaitu disimpan di perpustakaan umum.



e. Sumber Kelima

Apabila penyusun tidak menemukan acuan yang tertulis dan mantap, dapat minta bantuan pertimbangan kepada orang yang dipandang mempunyai kelebihan dalam bidang yang sedang dievaluasi sehingga terjadi langkah yang dikenal dengan expert judgment.

f. Sumber Keenam

Apabila sumber acuan tidak ada, sedangkan ahli yang dapat diandalkan sebagai orang yang lebih memahami masalah dibanding penyusun juga sukar dicari atau dihubungi maka penyusun dapat menentukan kriteria secara bersama dengan anggota tim atau beberapa orang yang mempunyai wawasan tentang program yang akan dievaluasi. Perbedaan cara ini dengan expert judgment adalah bahwa seorang expert tentunya memiliki keahlian yang menonjol sedangkan kelompok yang diundang dalam diskusi ini tidak harus yang sangat mempunyai kemampuan lebih. Kriteria atau tolok ukur yang tersusun dari diskusi ini merupakan hasil kesempatan kelompok.



g. Sumber Ketujuh

Dalam keadaan yang sangat terpaksa karena acuan tidak ada, ahli juga tidak ada, sedangkan untuk menyelenggarakan diskusi terlalu sulit maka jalan terakhir adalah melakukan pemikiran sendiri. Dalam keterpaksaan seperti ini penyusun sendiri sebagai dasar untuk menyusun kriteria yang akan digunakan dalam mengavaluasi program. Jika ternyata sesudah digunakan dalam mengevaluasi masih banyak dijumpai kesulitan, penyusun harus meninjau kembali dan wajib memperbaikinya berkali-kali sampai mencapai suatu rumusan yang sesuai dengan kondisi yang diinginkan.



4. Cara Menyusun Kriteria

Sebelum membicarakan tentang bagaimana menyusun kriteria atau tolok ukur perlu terlebih dahulu dipahami bahwa wujud dari kriteria adalah tingkatan atau gradasi kondisi sesuatu yang dapat ditransfer menjadi nilai. Secara garis besar ada dua macam kriteria, yaitu kriteria kuantitatif dan kriteria kualitatif.



a. Kriteria Kuantitatif

Kriteria kuantitatif sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) dan (2) kriteria dengan pertimbangan



1) Kriteria kuantitatif tanpa pertimbangan

Kriteria yang disusun hanya dengan memperhatikan rentangan bilangan tanpa mempertimbangkan apa-apa dilakukan dengan membagi rentangan bilangan.

Contoh:

Kondisi maksimal yang diharapkan untuk prestasi belajar diperhitungkan 100%. Jika penyusun menggunakan lima kategori nilai maka antara 1% dengan 100% dibagi rata sehingga menghasilkan kategori sebagai berikut.

• Nilai 5 (Baik Sekali), jika mencapai 81-100%

• Nilai 4 (Baik), jika mencapai 61-80%

• Nilai 3 (Cukup), jika mencapai 41-60%

• Nilai 2 (Kurang), jika mencapai 21-40%

• Nilai 1 (Kurang Sekali), jika mencapai < 21%

Istilah untuk sebutan yang menunjukkan kualitas bukan hanya dari Baik Sekali sampai dengan Kurang Sekali, tetapi bisa Tinggi Sekali, Tinggi, Cukup, Rendah, dan Rendah Sekali, atau mungkin Sering Sekali, Sering, sampai dengan Jarang Sekali. Selain itu, dapat juga menggunakan istilah-istilah lain yang menenjukkan kualitas suatu keadaan, sifat, atau kondisi, seperti Banyak Sekali, Sibuk Sekali, dan lain-lainnya. Untuk pertimbangan atau pendapat orang, penyusun dapat menggunakan kata Setuju, Sependapat, dan lain-lain.



2) Kriteria kuantitatif dengan pertimbangan

Ada kalanya beberapa hal kurang tepat jika kriteria kuantitaf dikategorikan dengan membagi begitu saja rentangan yang ada menjadi rentang sama rata. Sebagai contoh adalah ini di beberapa perguruan tinggi untuk menetukan nilai dengan huruf A, B, C, D, dan E. bagaimana menentukan nilai untuk masing-masing huruf mengacu pada peraturan akademik berdasarkan besarnya persentase pencapaian tujuan belajar sebagai berikut:

• Nilai A : rentangan 80-100%

• Nilai B : rentangan 66-79%

• Nilai C : rentangan 56-65%

• Nilai D : rentangan 40-55%

• Nilai E : kurang dari 40%

Melihat pengkategorian nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa rentangan di dalam setiap kategori tidak sama, demikian juga jarak antara kategori yang satu dengan lainnya. Hal ini dibuat karena adanya pertimbangan tertentu berdasarkan sudut pandang dan pertimbangan evaluator.



b. Kriteria Kualitatif

Yang dimaksud dengan kriteria kualitatif adalah kriteria yang dibuat tidak menggunakan angka-angka. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam menentukan kriteria kualitatif adalah indikator dan yang dikenai kriteria adalah komponen. Seperti halnya kriteria kuantitatif, jenis kriteria kualitatif juga dibedakan menjadi dua, yaitu (a) kriteria kualitatif tanpa pertimbangan, dan (b) kriteria kualitatif dengan pertimbangan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.



1) Kriteria kualitatif tanpa pertimbangan

Dalam menyusun kriteria kualitatif tanpa pertimbangan, penyusun kriteria tinggal menghitung banyak indikator dalam komponen, yang dapat memenuhi persyaratan. Dari penjelasan tentang hubungan antara indikator, komponen, dan program tersebut dapat disimpulkan bahwa (1) Komponen adalah unsur pembentuk kriteria program. (2) Indikator adalah unsur pembentuk kriteria komponen.

2) Kriteria kualitatif dengan pertimbangan

Dalam menyusun kriteria, terlebih dahulu tim evaluator perlu merundingkan jenis kriteria mana yang akan digunakan, yaitu memilih kriteria tanpa pertimbangn atau dengan pertimbangan. Jika yang dipilih adalah kriteria dengan pertimbangan maka tentukan indikator mana yang harus diprioritaskan atau dianggap lebih penting dari yang lain.

Kriteria kualitatif dengan pertimbangan disusun melalui dua cara, yaitu 1) dengan mengurutkan indikator, dan 2) dengan menggunakan pembobotan.



a) Kriteria kualitatif dengan pertimbangan mengurutkan indikator

Jika penyusun memilih kriteria dengan pertimbangan mengurutkan indikator dengan urutan prioritas maka dihasilkan kriteria kualitatif dengan pertimbangan sebagai berikut.

• Nilai 5, jika memenuhi semua indikator

• Nilai 4, jika memenuhi (b), (c), dan (d) atau (a)

• Nilai 3, jika memenuhi salah satu dari (b) atau (c) saja, dan salah satu dari (d) atau (a)

• Nilai 2, jika memenuhi salah satu dari empat indikator

• Nilai 1, jika tidak ada satu pun indikator yang memenuhi.

Penentuan nilai yang dikemukakan di atas hanya merupakan contoh. Kita perlu mempertimbangkan apa saja indikator yang diidentifikasikan, mana yang ditentukan sebagai indikator penting, serta bagaimana gradasi nilai dibuat dalam menentukan kriteria. Yang penting adalah bahwa apa pun yang ditentukan harus didukung oleh argumentasi atas penalaran yang benar, yaitu alasan yang masuk akal.

Jika yang dikenai kriteria itu bukan indikator tetapi subindikator (bagian dari indikator) maka yang digunakan untuk mempertimbangkan penentuan kriteria adalah subindikator atau rincian dari indikator tersebut. Jika evaluator memandang penting mencermati indikator secara lebih rinci maka kriteria yang kan digunakan ditentukan atau dasar subindikator yang sudah diidentifikasi.

Perlu diketahui oleh para evaluator bahwa mengadakan identifikasi indikator dn subindikator seperti yang dicontohkan memang bukan pekerjaan yang mudah. Untuk dapat bertambah jeli mendapatkan indikator dari sebuah komponen dan mendapatkan subindikator dari masing-masing indikator, diperlukan latihan dan pembiasaan. Selain itu, perlu juga diketahui bahwa ada kalanya sebuah indikator sudah tidak dapat dipecah lagi menjadi lebih kecil, yaitu subindikator. Dalam keadaan seperti itu, indikator hanya merupakan satu-satunya dasar pembuatan kriteria atau tolok ukur.



b) Kriteria kualitatif dengan pertimbangan pembobotan

Selain mempertimbangkan indikator sebagai unsur untuk menentukan gradasi nilai dalam kriteria, ada juga cara lain yang dapat digunakan oleh evaluator dalam menentukan nilai, yaitu pembobotan.

Jika dalam menentukan kriteria dengan pertimbangan indikator, niali dari tiap-tiap indikator tidak sama, kemudian letak, kedudukan, dan pemenuhan persyaratannya dibedakan dengan menentukan urutan, dalam pertimbangan pembobotan indikator-indikator yang ada diberi nilai dengan bobot berbeda. Penentuan peranan subindikator dalam mendukung nilai indikator harus disertai dengan alasan-alasan yang tepat.

Kalau sudah ditentukan pembobotannya, kini para penilai tinggal memilih akan menggunakan skala berapa dalam menilai objek. Mungkin skala 1-3, 1-4, atau 1-5, atau bahkan seperti yang lazim digunakan di sekolah, yaitu skala 1-10? Terserah saja. Yang penting adalah proses pada waktu menentukan nilai akhir indikator.

Cara memperoleh nilai akhir indikator adalah:

1) mengalikan nilai masing-masing subindikator dengan bobotnya;

2) membagi jumlah nilai subindikator dengan jumlah bobot


Penggunaan kriteria dengan pertimbangan unsur dan pembobotan ini banyak digunakan dalam dunia pendidikan. Ketika guru menentukan nilai akhir mata pelajaran, biasanya memberikan bobot nilai ujian lebih besar dibandingkan dengan nilai ulangan harian. Sebagai kelengkapan pertimbangan, nilai tugas juga dipertimbangkan dalam menambah unsur penunjang, tetapi bobot yang diberikan lebih kecil dari ulangan dan ujian. Ada kalanya dosen juga memperhitungkan kehadiran sebagai salah satu unsur yang dipertimbangkan. Alasannya, jika seorang mahasiswa hadir kuliah, meskipun minim, tentu memperoleh ilmu yang tersimpan diotaknya. Perolehan itu tentu lebih besar dibanding dengan nol besar yang diperoleh mahasiswa yang tidak hadir. Dengan masuknya unsur kehadiran dalam penentuan nilai hadir ini, hasil penilaian menjadi lebih cermat sehingga menjadi lebih baik.

Sesudah kita memahami cara menentukan nilai indikator dengan dasar hasil penilaian subindikator, selanjutnya adalah menentukan nilai komponen dengan dasar nilai indikator, dan nilai program dengan dasar nilai komponen. Kalau dalam menghitung nilai akhir indikator kita manggunakan rumus berdasarkan subinikator, maka dalam menghitung nilai komponen menggunakan indikator sebagai unsur.

Bertitik tolak pada pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Tinggi rendahnya kualitas suatu program sangat tergantung dari tinggi rendahnya kualitas komponen.

2. Tinggi rendahnya kualitas komponen tergantung dari tinggi rendahnya kualitas indikator

3. Tinggi rendahnya kualitas komponen tergantung dari tinggi rendahnya kualitas subindikator Tinggi rendahnya kualitas komponen tergantung dari tinggi rendahnya kualitas indikator


Ringkasan:

Evaluasi merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris, evaluation. Menurut pengertian umum, “program” dapat diartikan sebagai “rencana”. Sebuah program bukanlah hanya kegiatan tunggal yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat, tetapi merupakan kegiatan yang berkesinambungan karena melaksanakan suatu kebijakan. Evaluasi program adalah langkah awal dalam supervisi, yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula. Evaluasi program itu sangat bermanfaat terutama bagi pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud dari evalausi adalah sebuah rekomendasi dari evaluator untuk pengambil keputusan (decision maker)

Ada dua macam tujuan evaluasi, yaitu umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan pada program secara keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan pada masing-masing komponen. Istilah “kriteria” dalam penilaian sering juga dikenal dengan kata “tolok ukur” atau “standar”. Evaluasi program perlu memiliki kriteria. Kriteria atau tolok ukur perlu dibuat oleh evaluator karena evaluator terdiri dari beberapa orang yang memerlukan kesepakatan di dalam menilai dan agar tidak terpengaruh oleh pendapat pribadi, karena sudah dituntun oleh sebuah standar.

Ada dua macam tolok ukur, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Masing-masing jenis tolok ukur ada yang disusun dan digunakan tanpa pertimbangan dan ada yang dengan pertimbangan. Keduanya tetap ilmiah karena disusun berdasarkan penalaran yang benar.

Rabu, 16 Juni 2010

PEMBERDAYAAN GURU DI ERA GLOBALISASI

Sejalan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, khususnya dalam bidang informasi dan komunikasi, telah menjadikan dunia ini terasa semakin menjadi sempit dan transparan. Antara satu belahan dunia dengan belahan dunia lainnya dengan mudah dapat dijangkau dan dilihat dalam waktu yang relatif singkat.
Itulah globalisasi, yang di dalamnya membawa berbagai implikasi yang luas dan kompleks bagi kehidupan manusia. Implikasi nyata dari adanya globalisasi adalah terjadinya perpacuan manusia yang mengglobal. Seorang individu dalam berkarya tidak hanya dituntut untuk mampu berkiprah dan berkompetisi sebatas tingkat lokal dan nasional semata, namun lebih jauh harus dapat menjangkau sampai pada tingkat kompetisi global, yang memang di dalamnya berisi sejumlah tantangan dan peluang yang begitu ketat.
Pada saat yang bersamaan, kita pun saat ini sedang dihadapkan dengan era otonomi daerah, yaitu sebuah paradigma baru dari sistem pemerintahan, yang semula bersifat otoriter-sentralistik menuju ke arah demokratik-desentralistik. Sebagai paradigma baru, tentunya akan mempunyai implikasi yang sangat luas pula terhadap tatanan kehidupan. Berbagai persoalan akan muncul, baik yang bersifat tantangan maupun hambatan. Dengan kewenangan yang luas, daerah seyogyanya lebih mampu untuk memberdayakan diri dan memacu partisipasi masyarakatnya dalam berbagai kegiatan pembangunan, sehingga pada gilirannya benar-benar akan dapat terwujud berbagai kemajuan yang signifikan.
Dari sini timbul pertanyaan, bagaimanakah agar kita benar-benar dapat survive dan eksis guna menghadapi kedua tantangan zaman tersebut. Tak lain jawabannya, kualitas sumber daya manusia ! Faktor kualitas sumber daya manusia menjadi amat penting karena hanya dengan sentuhan manusia-manusia yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, keterampilan yang handal dan sikap moral yang tinggi, maka berbagai persoalan yang muncul sebagai konsekwensi logis dari adanya era globalisasi dan era otononomi daerah sangat diyakini akan bisa terjawab. Oleh karena itu, gerakan usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia hendaknya menjadi komitmen seluruh komponen bangsa. Melalui usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat tercipta manusia-manusia yang dapat diandalkan untuk menjadi motor penggerak pembangunan di daerah. Sekaligus pula, dapat diandalkan untuk mampu berkiprah dalam percaturan global.
Pada kenyataaannya, memang harus diakui bahwa saat ini tingkat kualitas sumber daya manusia Indonesia sangat mengkhawatirkan, jangankan untuk bersaing pada tingkat global, untuk tingkat regional ASEAN saja, kita berada pada posisi di bawah Vietnam, yakni sebuah negara yang beberapa tahun lalu berkecamuk dilanda perang saudara. Namun, dengan dukungan political will yang kuat dari pemerintah setempat untuk mengkampanyekan pentingnya pendidikan, dengan mengangkat tema sentral posisi guru sebagai kunci utama keberhasilan peningkatan sumber daya manusia, maka dalam waktu yang relatif singkat, saat ini Vietnam telah berhasil mengangkat posisi kualitas sumber daya manusianya di atas kita.
Rasanya tak perlu malu, kalau kita belajar menimba pengalaman dari keberhasilan Vietnam dalam membangun sumber daya manusianya, yakni dengan berusaha menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan, dengan tema sentral yang sama yakni guru sebagai kunci utama keberhasilan peningkatan sumber daya manusia. Memang, berdasarkan hasil studi di negara-negara berkembang telah membuktikan bahwa guru memberikan kontribusi tertinggi dalam pencapaian prestasi belajar (36%), kemudian disusul manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%), sebagaimana disampaikan oleh Dirjen Dikdasmen pada acara Dies Natalis XVI Universitas Terbuka.
Suka atau tidak suka, memang harus diakui bahwa semasa rezim orde baru yang otoriter dan sentralistik itu telah menempatkan profesi guru berada pada posisi yang termarjinalkan dari keseluruhan sistem pembangunan. Akibatnya, dalam pengelolaan dan pengembangan proses pembelajaran seringkali guru menjadi miskin kreativitas, karena selalu dicekoki oleh berbagai aturan yang sangat mengikat dan kaku. Kebebasan mengaktulisasikan diri untuk menjadi seorang profesional terhambat dan guru hanya berperan sebagai tenaga juru belaka, yang bertugas menyampaikan apa yang telah disajikan dari pusat dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada tahap evaluasi sekali pun.
Terlebih lagi dengan adanya kewajiban untuk memenuhi target-target materi kurikulum tertentu yang seringkali menimbulkan rasa stress, baik guru maupun siswa. Demi mengejar target materi, seringkali terjadi pemaksaan penjejalan materi kepada siswa. Mengerti atau tidak mengerti apa yang telah disampaikan guru, menjadi urusan belakangan.
Beban lain yang harus ditanggung guru yaitu menyangkut kewajiban membuat berbagai perangkat administrasi yang sudah terpolakan secara baku dan bermacam-macam jenisnya. Bahkan ada persepsi bahwa guru yang baik adalah yang memiliki administrasi lengkap. Dari sini timbul sikap pragmatis, yang penting administrasi bagus, meskipun pada kenyataannya, antara yang tertulis dalam administrasi dengan pelaksanaan, sesungguhnya sangat bertolak belakang.
Hal yang mendasar dan menjadi persoalan utama guru adalah menyangkut kesejahteraannya. Tunjangan fungsional yang diskriminatif dibandingkan dengan profesi lain telah menimbulkan rasa cemburu di kalangan guru. Selain itu, berbagai kasus pemotongan gaji untuk kepentingan yang tidak masuk akal seringkali terjadi. Begitu juga, prosedur kenaikan pangkat yang berbelit-belit dan selalu berakhir dengan pungutan-pungutan yang tidak jelas juntrungnya, kiranya semakin melengkapi rasa frustrasi guru.
Akumulasi berbagai persoalan yang dihadapi guru berdampak luas terhadap melemahnya kinerja guru. Guru melaksanakan tugas semata-mata sebagai rutinitas, tanpa disertai proses kreatif dan inovatif. Sudah bisa hadir di kelas pun di anggap cukup. Sekali-kali tidak masuk kelas dan hanya diwakili oleh tugas yang harus dikerjakan siswa, masih dianggapnya wajar. Pemberian evaluasi kepada siswa berjalan seadanya, manakala hasil ulangan jeblok pun, tidak perlu lagi usaha untuk meneliti kenapa terjadi kegagalan, apalagi berusaha mencari pengentasannya. Bahkan berdampak pula terhadap relasi antara guru dengan siswa yang terasa senjang. Guru tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan siswa, baik tentang kondisi fisik, kesehatan, kesulitan, kebutuhan, minat, perasaan, kemampuan maupun harapan-harapannya. Yang jelas, kalau ada siswa yang tidak hadir atau ngantuk di kelas tetap akan dianggap sebagai tindakan indisipliner yang perlu diberi sanksi.
Hubungan antara guru dan siswa yang humanis berjalan mandeg. Tidak terbangun lagi rasa saling asah, saling asih dan saling asuh. Oleh karenanya tidak aneh kalau banyak ditemukan siswa yang sama sekali tidak lagi memberikan rasa hormat terhadap gurunya sendiri. Karena keduanya sama-sama untuk mengambil sikap masa bodoh. Siswa lebih asyik mencari kompensasi dalam bentuk tawuran atau narkoba, dan tindakan kenakalan remaja lainnya, karena memang mereka sedang diliputi rasa frustasi yang mendalam akibat dari kegagalan dan tak terpenuhinya berbagai kebutuhan psikisnya. Harapan untuk menemukan jati diri, mendapatkan keterampilan, memperoleh pengetahuan dan membangun kehidupan sama sekali tidak didapatkannya. Fenomena yang mencerminkan carut marutnya wajah pendidikan kita dan keterpurukan guru semacam itu harus ditebus mahal dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia seperti sekarang ini, yang tentunya semua itu harus segera berakhir, jika kita semua ingin menjadi bangsa yang terhormat, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dulu maju.
Sejalan dengan hadirnya gerakan reformasi di tengah-tengan kehidupan kita, maka perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan sistem pendidikan harus dilakukan, termasuk di dalamnya usaha untuk menempatkan guru sebagai kunci utama keberhasilan pendidikan. Seyogyanya guru diberikan otonomi yang lebih luas dalam melaksanakan berbagai tugas, fungsi dan kewajibannya, sehingga tidak lagi harus terpaku pada pola-pola yang dibakukan, seperti berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menyebabkan kreativitas guru menjadi terpasung. Guru harus didorong berbuat lebih kreatif dan inovatif untuk menemukan sendiri berbagai metode dan cara baru yang paling sesuai dan tepat dalam proses pembelajaran, yang ditujukan demi keberhasilan para siswanya.
Begitu juga, bobot penilaian dan penghargaan kepada guru hendaknya ditekankan pada hal-hal lebih esensial dan subtansial yaitu sejauhmana guru dapat melaksanakan proses pembelajaran secara efektif dan sejauhmana guru dapat mengembangkan pola interaksi belajar yang kondusif. Jadi, bukan hanya sekedar dilihat dari segi kemampuan administratif semata.
Berbagai bentuk ganjalan yang berkaitan dengan kesejahteraan guru hanya bisa dilakukan melalui komitmen dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, untuk menempatkan guru sebagai profesi yang berhak mendapatkan penghargaan dan balas jasa yang layak. Pemberian tunjangan tidak dilakukan secara diskriminatif lagi, sehingga tidak terjadi lagi berbagai kesenjangan yang lebar, baik antara guru dengan guru itu sendiri, guru dengan dosen, maupun guru dengan profesi lainnya.
Berbagai bentuk pemerasan terhadap guru, dengan dalih apa pun tidak bisa dibenarkan lagi dan harus segera dihentikan. Birokrat yang masih bermental korup sudah waktunya untuk tidak diberi tempat lagi, karena bagaimana pun, guru saat ini sudah sanggup menunjukkan sikap kritis dan keberaniannya untuk mengambil sikap yang terbaik bagi dirinya.
Akhirnya, sejalan dengan upaya pemberdayaan guru, baik dari segi kinerja maupun kesejahteraannya, maka harapan untuk terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi menjadi kenyataan, yang pada gilirannya nanti akan terbentuk manusia-manusia yang sanggup menjadi pelopor pembangunan di daerahnya masing-masing, dengan memiliki dan wawasan sanggup berkiprah secara global.

Kesimpulan
1. Guru mempunyai peran yang signifikan dalam pembentukan Sumber Daya Manusia yang berkualitas sehingga mampu berkiprah secara global
2. Proses pendidikan berperan penting dalam menciptakan Sumber Daya Manusia yang berkualitas.
3. Guru harus didorong berbuat lebih kreatif dan inovatif untuk menemukan sendiri berbagai metode dan cara baru yang paling sesuai dan tepat dalam proses pembelajaran, yang ditujukan demi keberhasilan para siswanya.
4. Era globalisasi menuntut Sumber Daya Manusia yang berkualitas.