Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani
SELAMAT DATANG DI BLOG SD NEGERI 2 BOROKULON, KECAMATAN BANYUURIP, KABUPATEN PURWOREJO
Mari bergabung dengan kami untuk meningkatkan kinerja kita sebagai guru yang profesional, demi meningkatkan mutu pendidikan.
Mari bergabung dengan kami untuk meningkatkan kinerja kita sebagai guru yang profesional, demi meningkatkan mutu pendidikan.
Senin, 28 Juni 2010
Minggu, 20 Juni 2010
Sabtu, 19 Juni 2010
KONSEP EVALUASI PROGRAM
A. Pengertian Program dan Evaluasi Program
Ada tiga istilah yang digunakan dan perlu disepakati pemakainya, sebelum disampaikan uraian lebih jauh tentang evaluasi program, yaitu “evaluasi” (evaluation), “pengukuran” (meansurement), dan “penilaian” (assessment).
Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris). Kata tersebut diserap ke dalam perbendaharaan istilah bahasa Indonesia dengan tujuan mempertahankan kata aslinya dengan sedikit penyesuaian lafal Indonesia menjadi “evaluasi”. Istilah “penilaian” merupakan kata benda dari “nilai”. Pengertian “pengukuran” mengacu pada kegiatan membandingkan sesuatu hal dengan satuan ukuran tertentu, sehingga sifatnya menjadi kuantitatif. Di dalam buku ini, ketiga istilah tersebut akan digunakan bergantian tanpa mengubah makna pembahasan.
Bagaimanakah kita mengartikan “evaluasi”? Ada beberapa kamus dapat dijadikan sumber acuan. Definisi yang dituliskan dalam kamus Oxford Advanced Learners”s Dictionary of Current English (AS Hornby, 186) evaluasi adalah to find out, decide the amount or value yang artinya suatu upaya untuk menetukan nilai atau jumlah. Selain arti berdasarkan terjemahan, kata-kata yang terkandung di dalam definisi tersebut pun menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi harus dilakukan secara hati-hati, bertanggung jawab, menggunakan strategi, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Suchman (1961 dalam Anderson, 1975) memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Definisi lain dikemukakan oleh Worthen dan Sanders (1973 dalam Anderson, 1971). Dua ahli tersebut mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu; dalam mencari sesuatu tersebut, juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program, produksi, produser, serta alternatif srategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Seorang ahli yang sangat terkenal dalm evaluasi program bernama Stufflebeam (1971, dalam Fernandes 1984) mengatakan bahwa evaluasi merupakan proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambilan keputusan dalam menentukan alternatif keputusan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan.
Sampai dengan kira-kira tahun 1974 masyarakat masih menganggap bahwa evaluasi pendidikan terbatas pengertiannya pada penilaian hasil belajar. Dasar pemikiran yang digunakan adalah bahwa pendidikan merupakan upaya memberikan satu perlakuan pembelajaran kepada peresta didik. Kesuksesan hasil belajar mereka dapat diketahui melalui kegiatan penilaian. Di balik dasar pemikiran tersebut terdapat pula anggapan bahwa upaya pendidik dalam penyelenggarakan kegiatan pembelajaran adalah kunci keberhasilan untuk mencapai hasil belajar peserta didik. Dapat diasumsikan bahwa di antara pembelajaran dengan hasil belajar merupakan hubungaan lurus atau linier.
Setelah para pendidik merasakan, mencermati keadaan, dan tidak henti-hentinya mengadakan penelitian, diketahui bahwa pembelajaran bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan dalam mencapai prestasi belajar. Ada hal yang juga berpengaruh dan menentukan tinggi rendahnya prestasi belajar peserta didik, yaitu:
1. Keadaan fisik dan psikis siswa, yang ditunjukan oleh IQ (kecerdasan intelektual), EQ (kecerdasan emosi), kesehatan, motivasi, ketekunan, ketelitian, keuletan, dan minat.
2. Guru yang mengajar dan membimbing siswa, seperti latar belakang penguasaan ilmu, kemampuan mengajar, perlakuan guru terhadap siswa.
3. Sarana pendidikan, yaitu ruang tempat belajar, alat-alat belajar, media yang digunakan guru, dan buku sumber belajar
Dari tiga contoh faktor yang sudah dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara pembelajaran dengan hasil atau prestasi siswa bukan hanya bersifat garis lurus, tetapi bisa bercabang dari faktor-faktor lain. Misalnya, faktor guru, siswa, dan sarana yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa.
Ada dua pengertian untuk istilah “program”, yaitu pengertian secara khusus dan umum. Menurut pengertian secara umum, “program” dapat diartikan “rencana”. Jika seorang siswa ditanya oleh guru, apa programnya sesudah lulus dalam menyelesaikan pendidikan di sekolah yang diikuti maka arti “program” dalam kalimat tersebut adalah rencana atau rancangan kegiatan yang akan dilakukan setelah lulus. Rencana ini mungkin berupa keinginan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, mencari pekerjaan, membantu orang tua dalam membina usaha, atau mungkin juga belum menentukan program apapun. Selain itu, ada juga anak yang sangat tergantung pada orang tua sehingga akan memberi jawaban bahwa program masa depan menunggu keputusan orang tua.
Apabila “program” ini langsung dikaitkan dengan evaluasi program maka program didefinisikan sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang. Ada tiga pengertian penting dan perlu ditekankan dalam menetukan program, yaitu (1) realisasi atau implementasi suatu kebijakan, (2) terjadi dalam waktu relatif lama-bukan kegiatan tunggal tetapi jamak-berkesinambungan, dan (3) terjadi dalam organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
Sebuah program bukan hanya kegiatan tunggal yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat, tetapi merupakan kegiatan yang berkesinambungan karena melaksanakan suatu kegiatan. Oleh karena itu, sebuah program dapat berlangsung dalam kurun waktu relatif lama. Pengertian program adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan yang dilakukan bukan hanya satu kali tetapi berkesinambungan. Pelaksanaan program selalu terjadi di dalam sebuah organisasi yang artinya harus melibatkan sekelompok orang. Pengertian program yang dikemukakan di atas adalah pengertian secara umum.
Dalam kehidupan, terdapat juga program yang berlangsung hanya dalam waktu singkat, misalnya program peringatan Hari Pahlawan. Upacara peringatan dapat diklasifikasi sebagai program karena mengandung beberapa komponen dan dirancang melalui serangkaian rapat, tetapi pelaksanannya hanya sebentar. Perbedaan antara program sempurna yang memenuhi ciri-ciri di atas dengan yang mempunyai penyimpangan dapat kita ketahui dan pahami pada penjelasan bab-bab berikutnya.
Selain mengandung tiga pengertian, ada pula program-program tertentu yang menunjukan ciri lain, yaitu adanya kegiatan jamak yang merupakan rangkaian. Untuk memperjelas pengertian “jamak berangkai”, coba bandingkan beberapa kegiatan tunggal dan jamak berikut ini. Kegiatan menulis, berjalan, tidur, adalah sekali dilakukan selesai, dan tidak berada dalam urutan proses. Bandingkan dengan memasak. Memasak adalah kegiatan jamak, karena untuk dapat memasak harus ada bahan yang dibeli dan dimasak. Sesudah memasak, hasil masakannya dimakan.
Pembelajaran adalah kegiatan jamak karena melalui urutan dari penyusunan kurikulum di pusat, pembuatan Analisis Materi Pelajaran (AMP), pembuatan rencana mengajar, pelaksanan kegiatan belajar mengajar, yaitu pembelajaran dan evaluasi prestasi belajar. Di dalam rangkaian proses tersebut, kegiatan awal yang mendahului merupakan faktor penentu keberhasilan kegiatan berikut.
Apa alasan melakukan evaluasi program dan sejak kapankah evaluasi program mulai populer? Menurut Fernandes (1984), pemikiran secara serius tentang evaluasi program dimulai sekitar tahun delapan puluhan. Sejak tahun 1979-an telah terjadi perkembangan sehubungan dengan konsep-konsep rang berkenaan dengan eveluasi program, sebagai contoh teori yang dikemukakan oleh Cronbach (1982 dalam Fernandes 1984) tentang pentingnya rancangan dalam kegiatan evaluasi program.
Makna dari evaluasi program itu sendiri mengalami proses pemantapan. Definisi yang terkenal untuk evaluasi program dikemukakan oleh Ralph Tyler, yang mengatakan bahwa evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pandidikan sudah dapat terealisasikan (Tyler, 1950). Definisi yang lebih diterima masyarakat luas dikemukakan oleh dua orang ahli evaluasi, yaitu Cronbach (1963) dan Stufflebeam (1971). Mereka mengemukakan evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan. Sehubungan dengan definisi tersebut The Standford Evaluation Consortium Group menegaskan bahwa meskipun evaluator menyediakan informasi, evaluator bukanlah pengambil keputusan tentang suatu program (Cronbach, 1982).
Ronal G. Schnee (1977 dalam Gilbert Sax, 1975) mengatakan bahwa karena alasan politik dan sosial evaluator program sering dihadapkan pada sebuah dilema pertimbangan etis. Dari hasil penelitian Schnee menyimpulkan adanya sebelas isu, yaitu
1. Otonomi
Isu ini terkait dengan sikap personel yang terlibat dalam program, misalnya guru dan kepala sekolah. Bagaimana mereka tidak terpengaruh dengan keinginan menyanjung program ketika diminta untuk mengevaluasi?
2. Hubungan dengan klien
Isu ini menyangkut evaluator ketika melaksanakan evaluasi harus bekerja sama dengan klien, yaitu orang-orang yang ada di dalam program.
3. Kenyataan politik dan konteks sosial
Dalam mengevaluasi program evaluator tidak boleh mengabaikan kejadian politik dan sosial, agar hasil kerja dapat bermanfaat.
4. Nilai yang dimiliki evaluator
Dalam melaksanakan evaluasi tidak mungkin evaluator dapat melepaskan diri dari nilai-nilai yang dianut dan dijadikan pedoman hidupnya.
5. Pemilihan rancangan dan metodologi
Untuk memperoleh hasil rancangan yang maksimal dari kerja evaluasi, seyogianya evaluator dapat mempertimbangkan berbagai unsur dan mengadakan kompromi.
6. Memberi kesempatan kepada orang lain untuk menelaah (review) rancangan
Alasan untuk mengadakan tilik ulang adalah mengurangi adanya bias dan pemborosan.
7. Kujujuran mengakui keterbatasan dan hambatan
Laporan evaluasi harus mencantumkan penjelasan tentang hal-hal yang dihadapi evaluator sebagai akibat adanya keterbatasan dan hambatan.
8. Hasil negatif
Evaluator perlu menyertakan hasil negatif agar data yang dilaporkan lengkap dan berguna untuk meningkatan program.
9. Penyebaran hasil
Mengingat tujuan evaluasi program adalah mengumpulkan informasi bagi tindak lanjut program maka hasil evaluasi sangat perlu untuk disebarluaskan.
10. Perlindungan dari pelanggaran
Program merupakan hasil kebijakan yang diatur oleh peraturan. Oleh karena itu, evaluasi tidak boleh melanggar hal yang dilindungi.
11. Penolakan terhadap kontrak
Meskipun evaluasi ini penting namun pelaksana program berhak menolak evaluator dengan alasan yang tepat.
B. Komponen dan Indikator Program
Program merupakan sistem. Sedangkan, sistem adalah satu kesatuan dari beberapa bagian atau komponen program yang saling kait-mengait dan bekerja sama satu dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan dalam sistem. Dengan begitu, program terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan dan saling menunjang dalm rangka mencapai suatu tujuan.
Komponen program adalah bagian-bagian program yang saling terkait dan merupakan faktor-faktor penentu keberhasilan program. Karena suatu program merupakan sebuah sistem dan dikenal dengan istilah “subsistem”. Komponen atau subsistem merupakan bagian dari suatu program yang berupa kata benda, harus disebut dalam kata benda. Andai kata kita ingin mengetahui sabar dan tidaknya seseorang maka yang diukur bukan “sabar”, tetapi “kesabaran” jika akan mengetahui indah dan tidaknya taman, yang diukur bukan “indah” tetapi “keindahan”. Jadi kata keadaan atau kata sifat, kalau distatuskan sebagai komponen, harus diubah nama dalam bentuk kata benda, atau dengan kata lain harus dibendakan dahulu.
Menurut pengertian atau konsep umum, di dalam sebuah sistem, subsistem yang ada saling terkait dan saling mempengaruhi. Sistem sendiri berada di dalam sebuah naungan yang lebih besar yang dikenal dengan istilah “suprasistem”. Dalam suprasistem, sistem-sistem yang ada di bawah naungannya saling berkaitan dan bekerja sama menuju pencapaian tujuan suprasistem dimaksud. Sebagai contoh kaitan antara suprasistem, sistem, dan subsistem dalam dunia pendidikan adalah Departemen Pendidikan Nasional, sekolah, dan pembelajaran di kelas.
Dengan dipahaminya pembelajaran sebagai sebuah sistem maka dikatakan bahwa pembelajaran terjadi dalam sebuah program. Hubungan antara pembelajaran dengan prestasi atau hasil belajar tidak hanya digambarkan sebagai garis lurus tetapi saling hubungan antarsubsistemnya, yaitu siswa, guru, sarana belajar, kurikulum, lingkungan dan kegiatan pembelajaran itu sendiri. Selain yang sudah disebutkan, masih terdapat satu subsistem lain yang juga merupakan suatu faktor penentu nilai hasil belajar, yaitu evaluasi dalam (termasuk di dalamnya soal yang diberikan, cara mengawasi, kondisi fisik, cara menilai, situasi waktu evaluasi dilaksanakan, waktu yang disediakan, psikis siswa, dan sarana).
Jika hubungan jamak antarsubsistem pembelajaran dikaitkan antara satu dengan yang lainnya, akan dipahami bahwa siswa merupakan bahan mentah yang dilibatkan dalam proses pembelajaran, sedangkan hasil belajar merupakan keluar dari sistem dan subsistem lain yang mempunyai sumbangan terhadap pembelajaran, yang secara langsung berpengaruh terhadap hasil belajar.
Melalui penjelasan tentang kaitan antarkomponen pembelajar diketahui bahwa evaluasi hasil belajar merupakan salah satu di antara beberapa komponen program pembelajaran. Dengan bertitik tolak pada komponen tersebut bahwa evaluasi hasil pembelajaran hanya merupakan bagian dari evaluasi program pembelajaran. Jadi jelas, keberhasilan suatu program sangat ditentukan oleh komponen-komponen yang membentuk suatu program. Selain itu, evaluasi atau penilaian yang dimaksudkan untuk mengukur mutu hasil belajar juga dilakukan untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Informasi yang lebih rinci tentang sejauh mana ketercapaian dan kekurangtercapaian tujuan dapat diperoleh dengan cara mencermati bagian-bagian yang lebih kecil dari komponen sehingga diketahui dengan pasti letak penyebabnya. Hal ini berarti bahwa penilai harus memahami indikator-indikator dalam setiap komponen.
Indikator berasal dari kata dasar bahasa Inggris to indicate, artinya menunjukan. Dengan demikian maka indikator berarti alat penunjuk atau “sesuatu yang menunjukan kualitas sesuatu”. Contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah kue dapat dikatakan bermutu jika rasanya lezat. Maka “rasa” menunjukan kualitas kue, rasa merupakan indikator dari kualitas kue. Contoh lain, kualitas siswa cerdas ditunjukkan dengan nilai prestasi. Maka nilai prestasi belajar merupakan indikator dari kualitas kecerdasan. Untuk contoh terakhir ini, kecerdasan dapat distatuskan sebagai komponen, dan nilai prestasi sebagai indikator.
Jika kita menyimpulkan bahwa seorang siswa itu cerdas dengan indikator kecerdasan siswa bukan hanya nilai prestasi, tetapi juga kecepatan reaksi, kecepatan kerja dan daya kritis siswa maka indikator kecerdasan dalam nilai prestasi, kecepatan reaksi, kecepatan kerja dan daya kritis. Kesimpulan dari penjelasan tersebut adalah bahwa untuk menentukan tinggi rendahnya kecerdasan, seseorang harus mempertimbangkan tinggi rendahnya nilai prestasi, cepat tidaknya reaksi, cepat tidaknya kerja, dan tinggi rendahnya daya kritis. Tentang bagaimana mengidentifikasi indikator, akan dibicarakan dalam bagian-bagian berikut, baik secara terpisah maupun terlampir dalam uraian lain.
Evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui efektifitas komponen program dalam mendukung pencapaian tujuan program. Dengan demikian, jika diketahui bahwa hasil belajar (sebagai harapan dari program pembelajaran) tidak memuaskan, dapat dicari di mana letak kekurangannya atau komponen mana yang bekerja tidak dengan semestinya.
Setiap kegiatan yang merupakan realisasi dari suatu kebijakan harus dirancang dengan cermat dan teliti, supaya tujuan yang sudah ditetapkan dalam kebijakan dapat dicapai dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian maka kegiatan realisasi kebijakan merupakan sebuah program. Dengan memandang kegiatan tersebut sebagai sebuah program, ada satu keuntungan yang besar bagi para evaluator karena dapat mencermati letak kekuatan dan kelemahan program secara lebih baik.
Kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pengambil keputusan sebelum tentu dapat direalisasikan dengan baik sesuai dengan jiwa kebijakan. Untuk mengetahui seberapa jauh dan bagian mana dari tujuan yang sudah dicapai dan bagian mana yang belum tercapai serta apa penyebabnya, perlu adanya evaluasi program. Tanpa ada evaluasi, keberhasilan dan kegagalan program tidak dapat diketahui. Uraian tersebut dapat disimpulkan dalam sebuah definisi sebagai berikut. Evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan suatu kebijakan secara cermat dengan cara mengetahui efektifitas masing-masing komponennya.
C. Manfaat Evaluasi Program
Dalam organisasi pendidikan, evaluasi program dapat disamaartikan dengan kegiatan supervisi. Secara singkat, supervisi diartikan sebagai upaya mengadakan peninjauan untuk memberikan pembinaan maka evaluasi program adalah langkah awal dalam supervisi, yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula.
Kesalahan yang terjadi di masyarakat beberapa waktu yang lalu, yaitu supervisi hanya menekankan aspek ketatausahaan saja. Jika konsep seperti itu maka ada perbedaan antara eveluasi program dengan supervisi. Jika supervisi di lembaga pendidikan dilakukan dengan objek buku-buku dan pekerjaan clerical work maka evaluasi program dilakukan dengan objek lembaga pendidikan secara keseluruhan. Kebijakan supervisi yang berlangsung saat ini dapat dikatakan sama dengan evaluasi program, tetapi sarananya ditekankan pada kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain, prestasi belajar menjadi titik pusat perhatian. Oleh karena tujuan utamanya memperhatikan prestasi belajar bidang studi atau mata pelajaran maka supervisor (yang di dalam praktik disebut pengawas), disaratkan memiliki latar belakang studi tertentu dan harus memiliki pengalaman menjadi guru. Dilihat dari ruang lingkupnya, supervisi dibedakan menjadi 3, yaitu (1) supervisi kegiatan pembelajaran, (2) supervisi kelas, dan (3) supervisi sekolah.
Berdasarkan pengertian tadi, supervisi sekolah yang diartikan sebagai evaluasi program, dapat disamaartikan dengan validasi lembaga dan akreditasi. Evaluasi program merupakan langkah awal dari proses akreditasi dan validasi lembaga. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: evaluasi program pendidikan tidak lain adalah supervisi pendidikan dalam pengertian khusus, tertuju pada lembaga secara keseluruhan.
Apa hubungan antara evaluasi program dengan kebijakan? Program adalah rangkaian kegiatan sebagai realisasi dari suatu kebijakan. Apabila suatu program tidak dievaluasi maka tidak dapat diketahui bagaimana dan seberapa tinggi kebijakan yang sudah dikeluarkan dapat terlaksana. Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan hasil evaluasi program itulah para pengambil keputusan akan menentukan tidak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud dari hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari evaluator untuk mengambil keputusan (decision maker). Ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil dalam pelaksanaan sebuah program keputusan, yaitu:
1. Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.
2. Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya sedikit).
3. Melanjutkan, karena pelaksanaan program menunjukan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat.
4. Menyebarluaskan program (melaksanakan program ditempat-tempat lain atau mengulangi lagi dilain waktu), karena program tersebut berhasil dengan baik maka yang baik jika dilaksanakan lagi ditempat dan waktu yang lain.
D. Evaluator Program
Siapakah yang melakukan evaluasi program? Pertanyaan tersebut tidak lain diajukan untuk menyebutkan siapa yang menjadi evaluator program. Apakah semua orang berhak menjadi evaluator program? Tentu saja tidak. Untuk dapat menjadi evaluator, seseorang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Mampu melaksanakan, persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh evaluator adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan evaluator yang didukung oleh teori dan ketrampilan paktik.
2. Cermat, dapat melihat celah-celah dan detail dari program serta bagian program yang akan dievaluasi.
3. Objektif, tidak mudah dipengaruhi oleh keingainan pribadi agar dapat mengumpulkan data sesuai dengan keadaannya, selanjutnya dapat mengambil kesimpulan sebagaimana diatur oleh ketentuan yang harus diikuti.
4. Sabar dan tekun, agar di dalam melaksanakan tugas di mulai dari membuat rancangan kegiatan dalam bentuk menyusun proposal, menyusun instrument, mengumpulkan data, dan menyusun laporan, tidak gegabah dan tergesa-gesa.
5. Hati-hati dan bertanggungjawab, yaitu melakukan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada kekeliruan yang diperbuat, berani menanggung resiko atas segala kesalahannya.
Berdasarkan persyaratan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang dapat menjadi evaluator. Pertanyaan lain dapat diajukan sesudah memenuhi persyaratan dalah apakah yang bersangkutan diperbolehkan menjadi evaluator? Pertanyaan tersebut sebetulnya menyangkut pertimbangan dari mana orang yang menjadi eveluator diambil.
Ada dua kemungkinan asal (dari mana) orang untuk dapat menjadi evaluator program ditinjau dari program yang akan dievaluasi. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menentukan asal eveluator harus mempertimbangkan keterkaitan orang yang bersangkutan dengan program yang akan dievaluasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut evaluator dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu (1) evaluator dalam dan (2) evaluator luar.
1. Evaluator Dalam (Internal Evaluator)
Yang dimaksud dengan evaluator dalam adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksana program yang dievaluasi. Adapun kelebihan dan kekurangan dari evaluator dalam, yaitu:
Kelebihan:
1) Evaluator memahami betul program yang akan dievaluasi sehingga kekhawatiran untuk tidak atau kurang tepatnya sasaran tidak perlu ada. Dengan kata lain, evaluasi tepat pada sasaran.
2) Karena evaluator adalah orang dalam, pengambilan keputusan tidak perlu banyak mengeluarkan dana untuk membayar petugas evalusi.
Kekurangan:
1) Adanya unsur subjektivitas dari evaluator, sehingga berusaha menyampaikan aspek positif dari program yang dievaluasi dan menginginkan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik pula. Dengan kata lain, evaluator internal dapat dikhawatirkan akan bertindak subjektif.
2) Karena sudah memahami seluk-beluk program, jika evaluator yang ditunjuk kurang sabar, kegiatan evaluasi akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa sehingga kurang cermat.
2. Evaluator Luar (External Evaluator)
Yang dimaksud dengan evaluator luar adalah orang-orang yang tidak terkait dengan kebijakan dan implementasi program. Mereka berada di luar dan diminta oleh pengambil keputusan untuk mengevaluasi keberhasilan program atau keterlaksanaan kebijakan yang sudah diputuskan. Melihat bahwa status mereka berada di luar program dan dapat bertindak bebas dengan keinginan mereka sendiri maka tim evaluator luar ini biasa dikenal dengan nama tim bebas atau independen team.
Kelebihan:
1) Oleh karena tidak berkeprntingan atas keberhasilan program maka evaluasi luar dapat bertindak secara objektif selama melaksanakan evaluasi dan mengambil kesimpulan. Apa pun hasil evaluasi, tidak akan ada respons emosional dari evaluator karena tidak ada keinginan untuk memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil. Kesimpulan yang dibuat akan lebih sesuai dengan keadaan dan kenyataan.
2) Seorang ahli yang dibayar, biasanya akan mempertahankan kredibilitas kemampuannya. Dengan begitu, evaluator akan bekerja secara serius dan hati-hati.
Kekurangan:
1) Evaluator luar adalah orang baru, yang sebelumnya tidak mengenal kebijakan tentang program yang akan dievaluasi. Mereka berusaha mengenal dan mempelajari seluk-beluk program tersebut setelah mendapat permintaan untuk mengevaluasi. Mungkin sekali pada waktu mendapat penjelasan atau mempelajari isi kebijakan, ada hal-hal yang kurang jelas. Hal itu wajar karena evaluator tidak ikut dalam proses kegiatannya. Dampak dari ketidakjelasan pemahaman tersebut memungkinkan kesimpulan yang diambil kurang tepat.
2) Pemborosan, pengambil keputusan harus mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk membayar evaluator bebas.
Melihat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing evaluator, timbul pertanyaan: evaluator manakah yang lebih baik? Sebaiknya, orang yang ditunjuk sebagai evaluator berasal dari dalam dan luar program, yaitu gabungan antara orang-orang di dalam program atau unsur kebijakan, digabung dengan orang-orang dari luar. Dengan demikian, orang dalam dapat menjelaskan kepada orang luar tentang kebijakan yang tepat, sehingga diperkirakan tidak akan terjadi manipulasi hasil. Hal ini akan menguntungkan pengambil keputusan atau pelaksana program.
Perbedaan menonjol antara evaluator dalam dan evaluator luar adalah adanya satu langkah penting sebelum mereka mulai melaksanakan tugas. Oleh karena evaluator luar adalah pihak asing yang tidak tahu-menahu dan tidak berkepentingan dengan program, yang diasumsikan belum memahami seluk-beluk program maka terlebih dahulu tim tersebut perlu mempelajari program yang akan dievaluasi.
Hal-hal yang harus dipelajari oleh seorang evaluator meliputi tujuan program, koponen program, siapa pelaksananya, dan pihak-pihak mana yang terlibat, kegiatan apa saja yang sudah dilaksanakan, dan gambaran singkat tentang sejauh mana tujuan program sudah dicapai.
Sesudah tin evaluator betul-betul memahami program, barulah mereka mulai menyusun rencana atau desain evaluasi. Dalam proses memantapkan desain dan instrumen (paling tidak kisi-kisi instruman) tim evaluator sebaiknya masih terus berhubungan dengan salah seorang personel atau lebih baik lagi jika dapat melibatkan penanggung jawab program agar ketika sampai pada saatnya harus mengumpulkan data, evaluator tidak ragu-ragu lagi dalam melangkah.
E. Tujuan dan Sasaran Evaluasi Program
Pada kajian lalu sudah disimpulkan bahwa program adalah sebuah kegiatan sebagai implementasi kebijakan. Setiap kegiatan tentu mempunyai tujuan, demikian juga dengan evaluasi program. Pada bagian ini, akan dipaparkan mengenai tujuan program dan tujuan evaluasi program yang juga disertai beberapa contoh.
1. Kaitan antara Tujuan Program dengan Tujuan Evaluasi Program
Secara singkat evaluasi program merupakan upaya untuk mengukur ketercapaian program, yaitu mengukur sejauh mana sebuah kebijakan dapat terimplementasikan.
Berikut ini beberapa contoh kegiatan sederhana yang merupakan program dan yang bukan program.
a. Kegiatan membaca
tujuan kegiatan ini adalah untuk menangkap isi bacaan. Sedangkan tujuan evaluasi kegiatan adalah untuk mengetahui apakah pembaca dapat menangkap isi bacaan yang dibaca.
b. Program seminar
tujuan program ini adalah untuk membahas sesuatu topik di dalam forum peserta seminar. Sedangkan tujuan evaluasi program ini adalah untuk mengetahui (melalui pengumpulan data) apakah topik yang diajukan dalam seminar sempat dibahas, dan apakah peserta seminar mempunyai kesempatan untuk membahas topik yang diajukan dalam forum seminar.
c. Program usaha kesehatan sekolah (UKS)
Tujuan program ini adalah untuk mengatasi masalah kesehatan siswa dan personel lain di sekolah yang bersangkutan. Sedangkan tujuan evaluasi programnya adalah untuk mengumpulkan informasi tentang tertanganinya masalah kesehatan di sekolah, antara lain untuk mengetahui apakah layanan yang diberikan oleh UKS memuaskan bagi para siswa dan personel sekolah lainnya.
Dari ketiga contoh di atas, dapat ditentukan mana kegiatan yang merupakan penelitian dan mana yang penelitian tetapi juga sekaligus evaluasi program. Evaluasi program dilakukan dengan cara yang sama dengan penelitian. Jadi, evaluasi program adalah penelitian yang mempunyai ciri khusus, yaitu melihat keterlaksanaan program sebagai realisasi kebijakan, untuk menentukan tindak lanjut dari program dimaksud.
Terdapat banyak persamaan antara penelitian dengan evaluasi. Pendekatan, instrumen, dan langkah-langkah yang digunakan pun bisa sama. Keduanya dimulai dari menentukan sasaran (variabel), membuat kisi-kisi, menyusun instrumen, mengumpulkan data, analisis data, dan mengambil kesimpulan, yang membedakan adalah akhirnya. Jika kesimpulan penelitian diikuti dengan saran maka evaluasi program selalu harus mengarah pada pengambilan keputusan.
Dari penjelasan tambahan diatas diketahui bahwa evaluasi program diarahkan pada perolehan rekomendasi sehingga tujuan evaluasi program tidak boleh terlepas dari tujuan program itu merupakan dasar untuk merumuskan tujuan evaluasi program. Secara singkat dapat dibuat sebuah ketentuan bahwa: Tujuan evaluasi program harus dirumuskan dengan titik tolak tujuan program yang dievaluasi.
Agar pengukuran tujuan dapat diketahui secara cermat dan teliti sampai diketahui sisi positif dan negatifnya, dapat menunjukkan bagaimana dari kebijakan yang dapat diimplementasikan dan mana yang tidak dapat diimplementasikan, serta apa penyebabnya maka tujuan evaluasi perlu dirinci. Jika Anda sudah belajar tentang teori mengajar maka Anda dapat membandingkan tujuan evaluasi program dengan tujuan pembelajaran, yaitu tujuan pembelajaran umum (TPU) dan tujuan pembelajaran khusus (TPK). Cara merumuskan juga tidak jauh berbeda.
Ada dua macam tujuan evaluasi, yaitu umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan pada program secara keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan pada masing-masing komponen. Agar dapat melakukan tugasnya maka seorang evaluator program dituntut untuk mampu mengenali komponen-komponen program.
Dalam menentukan tujuan program, evaluator program harus dapat menangkap harapan dari penentu kebijakan yang mungkin bertindak sebagai pengelola, atau mungkin juga tidak. Sebelum melakukan evaluasi, kita harus mencermati tujuan program dan merenungkan apa yang menjadi tujuan evaluasi program? Pada bagian yang lalu sudah disebutkan bahwa tujuan evaluasi program dirumuskan bertitik tolak pada tujuan program. Apakah arti kalimat tersebut dan sejauh mana keterkaitannya?
Untuk mempermudah mengidentifikasi tujuan evalausi program, kita harus memperhatikan unsur-unsur dalam kegiatan atau penggarapannya. Ada tiga unsur yang penting di dalam kegiatan atau penggarapan suatu kegiatan, yaitu
a. what = apa yang digarap
b. who = siapa yang menggarap, dan
c. how = bagaimana menggarapnya.
Dengan memfokuskan perhatian pada tiga unsur kegiatan tersebut, paling sedikit dapat diidentifikasi adanya 3 (tiga) komponen kegiatan, yaitu tujuan, pelaksana kegiatan, dan prosedur/teknik pelaksana.
2. Sasaran Evaluasi Program
Pada kajian tentang kaitan antara program dengan evaluasi program, sudah dijelaskan mengenai komponen program dan bagaimana cara merumuskan tujuan berdasarkan dua macam tujuan evaluasi, yaitu umum dan tujuan khusus dengan bertitik tolak pada tujuan program dan kondisi harapan untuk setiap komponen programnya.
Sedangkan untuk menentukan sasaran evalusi, evaluator perlu mengenali program dengan baik, terutama komponrn-komponennya. Karena yang menjadi ssasaran evaluasi bukan program secara keseluruhan tetapi komponen atau bagian program.
Mengapa sasaran evaluasi tertuju pada komponen? Seperti alasan mengapa tujuan umum harus dijabarkan menjadi tujuan khusus maka sasaran evaluasi diarahkan pada komponen agar pengamatannya dapat lebih cermat dan data yang dikumpulkan lebih lengkap. Untuk itulah maka evaluator harus memiliki kamampuan mengidentifikasi komponen program yang akan dievaluasi.
F. Kriteria Evaluasi Program
Program adalah realisasi dari suatu kebijakan. Sedangkan evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui tingkatketerlaksaan program, atau dengan kata lain, untuk mengetahui implementasi dari suatu kebijakan. Dengan demikian, kegiatan evaluasi program mengacu pada tujuan, dengan kata lain, tujuan tersebut dijadikan ukuran keberhasilan. Pertanyaannya, apakah perbedaan antara evaluasi program dengan penelitian? Atau bagaimana perbandingan antara evaluasi program dengan penelitian? Di depan sudah disinggung secara singkat persamaan dan perbedaan antara penelitian denagan evaluasi program. Perbedaan yang sangat mencolok terletak pada arah kegiatannya. Evaluasi program mempunyai ukuran keberhasilan, yang dikenal dengan istilah kriteria. Oleh karena dalam evaluasi program kedudukan kriteria sangat penting maka perlu dibicarakan secara mendalam.
1. Pengertian Kriteria
Istilah “kriteria” dalam penilaian sering juga dikenal dengan kata “tolok ukur” atau “standar”. Dari nama-nama yang digunakan tersebut dapat segera dipahami bahwa kriteria, tolok ukur, atau standar, adalah sesuatu yang digunakan sebagai patokan atau batas minimal untuk sesuatu yang diukur. Kriteria atau standar dapat disamakan dengan “takaran”. Jika untuk mengetahui berat beras digunakan timbangan, panjangnya beda digunakan meteran maka kriteria atau tolok ukur digunakan untuk menakar kondisi objek yang dinilai.
Tentang batas yang ditunjuk oleh kriteria, sebagian orang mengatakan bahwa tolok ukur adalah “batas atas”, artinya batas maksimal yang harus dicapai. Sementara sebagian orang lainnya mengatakan bahwa tolok ukur atau kriteria adalah “batas bawah”, yaitu batas minimal yang harus dicapai. Dapat disimpulkan bahwa kriteria atau tolok ukur itu bersifat jamak karena menunjukkan batas atas dan batas bawah, sekaligus batas-batas di antaranya. Dengan demikian kriteria menunjukkan gradasi atau tingkatan, dan ditunjukkan dalam bentuk kata keadaan atau predikat.
Permasalahan di dalam kriteria evaluasi program adalah aturan tentang bagaimana menentukan peringkat-peringkat kondisi sesuatu atau rentangan-rentangan nilai, agar data yang diperoleh dapat dipahami oleh orang lain dan bermakna bagi pengambilan keputusan dalm rangka menentukan kebijakan lebih lanjut. Jika evaluator tidak berniat membuat kriteria khusus, sebaiknya menggunakan kriteria yang sudah lazim digunakan dan dikenal oleh umum, misalnya skala 1-10 atau skala 1-100.
Dari mana sebuah angka diperoleh atau bagaimana menetukan suatu angka? Misalnya seorang guru memberikan nilai akhir untuk pengisian rapor adalah angka “7”. Untuk menentukan angka 7 tersebut seorang guru mempertimbangkan beberapa hal. Komponen yang membentuk nilai misalnya ulangan harian, ulangan umum, dan tugas-tugas. Ketika guru menentukan nilai ulangan harian saja, sudah harus mempertimbangkan sekurang-kurangnya dua hal, yaitu benar-salahnya jawaban dan banyaknya soal yang dapat diselesaikan.
Jika kriteria untuk prestasi belajar menggunakan sepuluh jenjang penilaian, yaitu 1 sampai dengan 10, atau 1 sampai dengan 100 (meskipun tidak semua digunakan secara rutin), untuk nilai dalam evaluasi program pada umumnya menggunakan kriteria atau tolok ukur lima jenjang. Namun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan tiga jenjang atau tujuh jenjang.
Apakah memang harus gasal? Tentang gasal dan genapnya jenjang kriteria ada kelebihan dan kekurangan, jika jenjangnya gasal, berarti ada nilai di tengah untuk menyatakan “Cukup” atau “Sedang”. Ada sebagaian ahli yang “mencurigai” penggunaan nilai tengah karena dikhawatirkan untuk responden yang ragu-ragu dalam menetukan pilih, akan dengan cepat memilih nilai tengah. Untuk menghindari hal ini penyusun mencantumkan pilihan nilai tengah. Untuk itu banyaknya pilihan bisa 2, 4 atau 6, jika pilhan terlalu banyak, dikhawatirkan justru akan membingungkan responden dan dikatakan terlalu njlimet.
2. Mengapa Perlu Ada Kriteria?
Kriteria atau tolok ukur perlu dibuat oleh evaluator karena evaluator terdiri dari beberapa orang yang memerlukan kesepakatan di dalam menilai. Selain alasan sederhana tersebut, ada beberapa alasan lain yang lebih luas dan dapat lebih dipertanggungjawabkan, yaitu:
a. Dengan adanya kriteria atau tolok ukur, evaluator dapat lebih mantap dalam malakukan penilaian terhadap objek yang akan dinilai karena ada patokan yang diikuti.
b. Kriteria atau tolok ukur yang sudah dibuat dapat digunakan untuk menjawab atau mempertanggungjawabkan hasil penilaian yang sudah dilakukan, jika ada orang yang ingin menelusuri lebih jauh atau ingin mengaji ulang.
c. Kriteria atau tolok ukur digunakan untuk mengekang masuknya unsur subjektif yang ada pada diri penilai. Dengan adanya kriteria maka dalam melakukan evaluasi, evaluator dituntun oleh kriteria, mengikuti butir demi butir, tidak mendasarkan diri atas pendapat pribadi (yang mungkin sekali “dikotori” oleh seleranya)
d. Dengan adanya kriteria atau tolok ukur maka hasil evaluasi akan sama meskipun dilakukan dalam waktu yang berbeda dan dalam kondidi fisik penilai yang berbeda pula. Misalnya penilai sedang dalam kondisi badan yang masih segar atau dalam keadaan lelah hasilnya akan sama.
e. Kriteria atau tolok ukur memberikan arahan kepada evaluator apabila banyak evaluator lebih dari satu orang. Kriteria atau tolok ukur yang baik akan ditafsirkan sama oleh siapa saja yang menggunakannya.
3. Apa Dasar Pembuatan Kriteria.
Yang dimaksud dengan istilah “dasar” dalam pembuatan standar atau kriteria adalah sumber pengambilan kriteria secara keseluruhan. Dengan pengertian bahwa kriteria adalah suatu ukuran yang menjadi patokan yang harus dicapai maka kriteria tersebut harus “top” kondisinya. Timbul pertanyaan, dari manakah yang “top” itu diambil? Mengingat banyaknya objek yang diukur dan dengan harapan serta kondisi yang berbeda-beda maka ada beberapa sumber pembuatan kriteria. Kriteria atau tolok ukur sebaiknya dibuat bersama, dan sebaiknya dibuat oleh orang-orang yang akan menggunakan tidak ada masalah karena mereka sudah memahami, bahkan tahu apa yang melatarbelakangi.
a. Sumber Pertama
Apabila yang dievaluasi merupakan suatu implementasi kebijakan maka yang dijadikan sebagai kriteria atau tolok ukur adalah peraturan atau ketentuan yang sudah dikeluarkan berkenaan dengan kebijakan yang bersangkutan. Apabila penentuan kebijakan tidak mengeluarkan ketentuan secara khusus maka penyusun kriteria menggunakan ketentuan yang pernah berlaku umum yang sudah dikeluarkan oleh pengambil kebijakan terdahulu dan belum pernah dicabut masa berlakunya.
b. Sumber Kedua
Dalam mengeluarkan kebijakan biasanya disertai dengan buku pedoman atau petunjuk pelasanaan (juklak). Di dalam juklak tertuang informasi yang lengkap, sasaran, dan rambu-rambu pelaksanaanya. Butir-butir yang tertera di dalamnya, terutama dalam tujuan kebijakan, mencerminkan harapan dari kebijakan. Oleh karena itu, pedoman atau petunjuk pelaksanaan itulah yang distatuskan sebagai sumber kriteria.
c. Sumber Ketiga
Apabila tidak ada ketentuan atau petunjuk pelaksanaan yang dapat digunakan oleh penyusun sebagai sumber kriteria maka penyusun menggunakan konsep atau teori-teori yang terdapat dalam buku-buku ilmiah.
d. Sumber Empat
Jika tidak ada ketentuan, peraturan atau petunjuk pelaksanaan, dan juga tidak ada teori yang diacu, penyusun disarankan untuk menggunakan hasil penelitian. Dalam hal ini sebaiknya tidak langsung mengacu pada hasil penelitian yang baru saja diselesaikan seorang peneliti (apalagi peneliti pemula), tetapi disarankan sekurang-kurang hasil penelitian yang sudah dipublikasikan atau diseminarkan. Jika ada, yang sudah disajikan kepada orang banyak, yaitu disimpan di perpustakaan umum.
e. Sumber Kelima
Apabila penyusun tidak menemukan acuan yang tertulis dan mantap, dapat minta bantuan pertimbangan kepada orang yang dipandang mempunyai kelebihan dalam bidang yang sedang dievaluasi sehingga terjadi langkah yang dikenal dengan expert judgment.
f. Sumber Keenam
Apabila sumber acuan tidak ada, sedangkan ahli yang dapat diandalkan sebagai orang yang lebih memahami masalah dibanding penyusun juga sukar dicari atau dihubungi maka penyusun dapat menentukan kriteria secara bersama dengan anggota tim atau beberapa orang yang mempunyai wawasan tentang program yang akan dievaluasi. Perbedaan cara ini dengan expert judgment adalah bahwa seorang expert tentunya memiliki keahlian yang menonjol sedangkan kelompok yang diundang dalam diskusi ini tidak harus yang sangat mempunyai kemampuan lebih. Kriteria atau tolok ukur yang tersusun dari diskusi ini merupakan hasil kesempatan kelompok.
g. Sumber Ketujuh
Dalam keadaan yang sangat terpaksa karena acuan tidak ada, ahli juga tidak ada, sedangkan untuk menyelenggarakan diskusi terlalu sulit maka jalan terakhir adalah melakukan pemikiran sendiri. Dalam keterpaksaan seperti ini penyusun sendiri sebagai dasar untuk menyusun kriteria yang akan digunakan dalam mengavaluasi program. Jika ternyata sesudah digunakan dalam mengevaluasi masih banyak dijumpai kesulitan, penyusun harus meninjau kembali dan wajib memperbaikinya berkali-kali sampai mencapai suatu rumusan yang sesuai dengan kondisi yang diinginkan.
4. Cara Menyusun Kriteria
Sebelum membicarakan tentang bagaimana menyusun kriteria atau tolok ukur perlu terlebih dahulu dipahami bahwa wujud dari kriteria adalah tingkatan atau gradasi kondisi sesuatu yang dapat ditransfer menjadi nilai. Secara garis besar ada dua macam kriteria, yaitu kriteria kuantitatif dan kriteria kualitatif.
a. Kriteria Kuantitatif
Kriteria kuantitatif sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) dan (2) kriteria dengan pertimbangan
1) Kriteria kuantitatif tanpa pertimbangan
Kriteria yang disusun hanya dengan memperhatikan rentangan bilangan tanpa mempertimbangkan apa-apa dilakukan dengan membagi rentangan bilangan.
Contoh:
Kondisi maksimal yang diharapkan untuk prestasi belajar diperhitungkan 100%. Jika penyusun menggunakan lima kategori nilai maka antara 1% dengan 100% dibagi rata sehingga menghasilkan kategori sebagai berikut.
• Nilai 5 (Baik Sekali), jika mencapai 81-100%
• Nilai 4 (Baik), jika mencapai 61-80%
• Nilai 3 (Cukup), jika mencapai 41-60%
• Nilai 2 (Kurang), jika mencapai 21-40%
• Nilai 1 (Kurang Sekali), jika mencapai < 21%
Istilah untuk sebutan yang menunjukkan kualitas bukan hanya dari Baik Sekali sampai dengan Kurang Sekali, tetapi bisa Tinggi Sekali, Tinggi, Cukup, Rendah, dan Rendah Sekali, atau mungkin Sering Sekali, Sering, sampai dengan Jarang Sekali. Selain itu, dapat juga menggunakan istilah-istilah lain yang menenjukkan kualitas suatu keadaan, sifat, atau kondisi, seperti Banyak Sekali, Sibuk Sekali, dan lain-lainnya. Untuk pertimbangan atau pendapat orang, penyusun dapat menggunakan kata Setuju, Sependapat, dan lain-lain.
2) Kriteria kuantitatif dengan pertimbangan
Ada kalanya beberapa hal kurang tepat jika kriteria kuantitaf dikategorikan dengan membagi begitu saja rentangan yang ada menjadi rentang sama rata. Sebagai contoh adalah ini di beberapa perguruan tinggi untuk menetukan nilai dengan huruf A, B, C, D, dan E. bagaimana menentukan nilai untuk masing-masing huruf mengacu pada peraturan akademik berdasarkan besarnya persentase pencapaian tujuan belajar sebagai berikut:
• Nilai A : rentangan 80-100%
• Nilai B : rentangan 66-79%
• Nilai C : rentangan 56-65%
• Nilai D : rentangan 40-55%
• Nilai E : kurang dari 40%
Melihat pengkategorian nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa rentangan di dalam setiap kategori tidak sama, demikian juga jarak antara kategori yang satu dengan lainnya. Hal ini dibuat karena adanya pertimbangan tertentu berdasarkan sudut pandang dan pertimbangan evaluator.
b. Kriteria Kualitatif
Yang dimaksud dengan kriteria kualitatif adalah kriteria yang dibuat tidak menggunakan angka-angka. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam menentukan kriteria kualitatif adalah indikator dan yang dikenai kriteria adalah komponen. Seperti halnya kriteria kuantitatif, jenis kriteria kualitatif juga dibedakan menjadi dua, yaitu (a) kriteria kualitatif tanpa pertimbangan, dan (b) kriteria kualitatif dengan pertimbangan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
1) Kriteria kualitatif tanpa pertimbangan
Dalam menyusun kriteria kualitatif tanpa pertimbangan, penyusun kriteria tinggal menghitung banyak indikator dalam komponen, yang dapat memenuhi persyaratan. Dari penjelasan tentang hubungan antara indikator, komponen, dan program tersebut dapat disimpulkan bahwa (1) Komponen adalah unsur pembentuk kriteria program. (2) Indikator adalah unsur pembentuk kriteria komponen.
2) Kriteria kualitatif dengan pertimbangan
Dalam menyusun kriteria, terlebih dahulu tim evaluator perlu merundingkan jenis kriteria mana yang akan digunakan, yaitu memilih kriteria tanpa pertimbangn atau dengan pertimbangan. Jika yang dipilih adalah kriteria dengan pertimbangan maka tentukan indikator mana yang harus diprioritaskan atau dianggap lebih penting dari yang lain.
Kriteria kualitatif dengan pertimbangan disusun melalui dua cara, yaitu 1) dengan mengurutkan indikator, dan 2) dengan menggunakan pembobotan.
a) Kriteria kualitatif dengan pertimbangan mengurutkan indikator
Jika penyusun memilih kriteria dengan pertimbangan mengurutkan indikator dengan urutan prioritas maka dihasilkan kriteria kualitatif dengan pertimbangan sebagai berikut.
• Nilai 5, jika memenuhi semua indikator
• Nilai 4, jika memenuhi (b), (c), dan (d) atau (a)
• Nilai 3, jika memenuhi salah satu dari (b) atau (c) saja, dan salah satu dari (d) atau (a)
• Nilai 2, jika memenuhi salah satu dari empat indikator
• Nilai 1, jika tidak ada satu pun indikator yang memenuhi.
Penentuan nilai yang dikemukakan di atas hanya merupakan contoh. Kita perlu mempertimbangkan apa saja indikator yang diidentifikasikan, mana yang ditentukan sebagai indikator penting, serta bagaimana gradasi nilai dibuat dalam menentukan kriteria. Yang penting adalah bahwa apa pun yang ditentukan harus didukung oleh argumentasi atas penalaran yang benar, yaitu alasan yang masuk akal.
Jika yang dikenai kriteria itu bukan indikator tetapi subindikator (bagian dari indikator) maka yang digunakan untuk mempertimbangkan penentuan kriteria adalah subindikator atau rincian dari indikator tersebut. Jika evaluator memandang penting mencermati indikator secara lebih rinci maka kriteria yang kan digunakan ditentukan atau dasar subindikator yang sudah diidentifikasi.
Perlu diketahui oleh para evaluator bahwa mengadakan identifikasi indikator dn subindikator seperti yang dicontohkan memang bukan pekerjaan yang mudah. Untuk dapat bertambah jeli mendapatkan indikator dari sebuah komponen dan mendapatkan subindikator dari masing-masing indikator, diperlukan latihan dan pembiasaan. Selain itu, perlu juga diketahui bahwa ada kalanya sebuah indikator sudah tidak dapat dipecah lagi menjadi lebih kecil, yaitu subindikator. Dalam keadaan seperti itu, indikator hanya merupakan satu-satunya dasar pembuatan kriteria atau tolok ukur.
b) Kriteria kualitatif dengan pertimbangan pembobotan
Selain mempertimbangkan indikator sebagai unsur untuk menentukan gradasi nilai dalam kriteria, ada juga cara lain yang dapat digunakan oleh evaluator dalam menentukan nilai, yaitu pembobotan.
Jika dalam menentukan kriteria dengan pertimbangan indikator, niali dari tiap-tiap indikator tidak sama, kemudian letak, kedudukan, dan pemenuhan persyaratannya dibedakan dengan menentukan urutan, dalam pertimbangan pembobotan indikator-indikator yang ada diberi nilai dengan bobot berbeda. Penentuan peranan subindikator dalam mendukung nilai indikator harus disertai dengan alasan-alasan yang tepat.
Kalau sudah ditentukan pembobotannya, kini para penilai tinggal memilih akan menggunakan skala berapa dalam menilai objek. Mungkin skala 1-3, 1-4, atau 1-5, atau bahkan seperti yang lazim digunakan di sekolah, yaitu skala 1-10? Terserah saja. Yang penting adalah proses pada waktu menentukan nilai akhir indikator.
Cara memperoleh nilai akhir indikator adalah:
1) mengalikan nilai masing-masing subindikator dengan bobotnya;
2) membagi jumlah nilai subindikator dengan jumlah bobot
Penggunaan kriteria dengan pertimbangan unsur dan pembobotan ini banyak digunakan dalam dunia pendidikan. Ketika guru menentukan nilai akhir mata pelajaran, biasanya memberikan bobot nilai ujian lebih besar dibandingkan dengan nilai ulangan harian. Sebagai kelengkapan pertimbangan, nilai tugas juga dipertimbangkan dalam menambah unsur penunjang, tetapi bobot yang diberikan lebih kecil dari ulangan dan ujian. Ada kalanya dosen juga memperhitungkan kehadiran sebagai salah satu unsur yang dipertimbangkan. Alasannya, jika seorang mahasiswa hadir kuliah, meskipun minim, tentu memperoleh ilmu yang tersimpan diotaknya. Perolehan itu tentu lebih besar dibanding dengan nol besar yang diperoleh mahasiswa yang tidak hadir. Dengan masuknya unsur kehadiran dalam penentuan nilai hadir ini, hasil penilaian menjadi lebih cermat sehingga menjadi lebih baik.
Sesudah kita memahami cara menentukan nilai indikator dengan dasar hasil penilaian subindikator, selanjutnya adalah menentukan nilai komponen dengan dasar nilai indikator, dan nilai program dengan dasar nilai komponen. Kalau dalam menghitung nilai akhir indikator kita manggunakan rumus berdasarkan subinikator, maka dalam menghitung nilai komponen menggunakan indikator sebagai unsur.
Bertitik tolak pada pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Tinggi rendahnya kualitas suatu program sangat tergantung dari tinggi rendahnya kualitas komponen.
2. Tinggi rendahnya kualitas komponen tergantung dari tinggi rendahnya kualitas indikator
3. Tinggi rendahnya kualitas komponen tergantung dari tinggi rendahnya kualitas subindikator Tinggi rendahnya kualitas komponen tergantung dari tinggi rendahnya kualitas indikator
Ringkasan:
Evaluasi merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris, evaluation. Menurut pengertian umum, “program” dapat diartikan sebagai “rencana”. Sebuah program bukanlah hanya kegiatan tunggal yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat, tetapi merupakan kegiatan yang berkesinambungan karena melaksanakan suatu kebijakan. Evaluasi program adalah langkah awal dalam supervisi, yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula. Evaluasi program itu sangat bermanfaat terutama bagi pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud dari evalausi adalah sebuah rekomendasi dari evaluator untuk pengambil keputusan (decision maker)
Ada dua macam tujuan evaluasi, yaitu umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan pada program secara keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan pada masing-masing komponen. Istilah “kriteria” dalam penilaian sering juga dikenal dengan kata “tolok ukur” atau “standar”. Evaluasi program perlu memiliki kriteria. Kriteria atau tolok ukur perlu dibuat oleh evaluator karena evaluator terdiri dari beberapa orang yang memerlukan kesepakatan di dalam menilai dan agar tidak terpengaruh oleh pendapat pribadi, karena sudah dituntun oleh sebuah standar.
Ada dua macam tolok ukur, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Masing-masing jenis tolok ukur ada yang disusun dan digunakan tanpa pertimbangan dan ada yang dengan pertimbangan. Keduanya tetap ilmiah karena disusun berdasarkan penalaran yang benar.
Ada tiga istilah yang digunakan dan perlu disepakati pemakainya, sebelum disampaikan uraian lebih jauh tentang evaluasi program, yaitu “evaluasi” (evaluation), “pengukuran” (meansurement), dan “penilaian” (assessment).
Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris). Kata tersebut diserap ke dalam perbendaharaan istilah bahasa Indonesia dengan tujuan mempertahankan kata aslinya dengan sedikit penyesuaian lafal Indonesia menjadi “evaluasi”. Istilah “penilaian” merupakan kata benda dari “nilai”. Pengertian “pengukuran” mengacu pada kegiatan membandingkan sesuatu hal dengan satuan ukuran tertentu, sehingga sifatnya menjadi kuantitatif. Di dalam buku ini, ketiga istilah tersebut akan digunakan bergantian tanpa mengubah makna pembahasan.
Bagaimanakah kita mengartikan “evaluasi”? Ada beberapa kamus dapat dijadikan sumber acuan. Definisi yang dituliskan dalam kamus Oxford Advanced Learners”s Dictionary of Current English (AS Hornby, 186) evaluasi adalah to find out, decide the amount or value yang artinya suatu upaya untuk menetukan nilai atau jumlah. Selain arti berdasarkan terjemahan, kata-kata yang terkandung di dalam definisi tersebut pun menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi harus dilakukan secara hati-hati, bertanggung jawab, menggunakan strategi, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Suchman (1961 dalam Anderson, 1975) memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Definisi lain dikemukakan oleh Worthen dan Sanders (1973 dalam Anderson, 1971). Dua ahli tersebut mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu; dalam mencari sesuatu tersebut, juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program, produksi, produser, serta alternatif srategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Seorang ahli yang sangat terkenal dalm evaluasi program bernama Stufflebeam (1971, dalam Fernandes 1984) mengatakan bahwa evaluasi merupakan proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambilan keputusan dalam menentukan alternatif keputusan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan.
Sampai dengan kira-kira tahun 1974 masyarakat masih menganggap bahwa evaluasi pendidikan terbatas pengertiannya pada penilaian hasil belajar. Dasar pemikiran yang digunakan adalah bahwa pendidikan merupakan upaya memberikan satu perlakuan pembelajaran kepada peresta didik. Kesuksesan hasil belajar mereka dapat diketahui melalui kegiatan penilaian. Di balik dasar pemikiran tersebut terdapat pula anggapan bahwa upaya pendidik dalam penyelenggarakan kegiatan pembelajaran adalah kunci keberhasilan untuk mencapai hasil belajar peserta didik. Dapat diasumsikan bahwa di antara pembelajaran dengan hasil belajar merupakan hubungaan lurus atau linier.
Setelah para pendidik merasakan, mencermati keadaan, dan tidak henti-hentinya mengadakan penelitian, diketahui bahwa pembelajaran bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan dalam mencapai prestasi belajar. Ada hal yang juga berpengaruh dan menentukan tinggi rendahnya prestasi belajar peserta didik, yaitu:
1. Keadaan fisik dan psikis siswa, yang ditunjukan oleh IQ (kecerdasan intelektual), EQ (kecerdasan emosi), kesehatan, motivasi, ketekunan, ketelitian, keuletan, dan minat.
2. Guru yang mengajar dan membimbing siswa, seperti latar belakang penguasaan ilmu, kemampuan mengajar, perlakuan guru terhadap siswa.
3. Sarana pendidikan, yaitu ruang tempat belajar, alat-alat belajar, media yang digunakan guru, dan buku sumber belajar
Dari tiga contoh faktor yang sudah dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara pembelajaran dengan hasil atau prestasi siswa bukan hanya bersifat garis lurus, tetapi bisa bercabang dari faktor-faktor lain. Misalnya, faktor guru, siswa, dan sarana yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa.
Ada dua pengertian untuk istilah “program”, yaitu pengertian secara khusus dan umum. Menurut pengertian secara umum, “program” dapat diartikan “rencana”. Jika seorang siswa ditanya oleh guru, apa programnya sesudah lulus dalam menyelesaikan pendidikan di sekolah yang diikuti maka arti “program” dalam kalimat tersebut adalah rencana atau rancangan kegiatan yang akan dilakukan setelah lulus. Rencana ini mungkin berupa keinginan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, mencari pekerjaan, membantu orang tua dalam membina usaha, atau mungkin juga belum menentukan program apapun. Selain itu, ada juga anak yang sangat tergantung pada orang tua sehingga akan memberi jawaban bahwa program masa depan menunggu keputusan orang tua.
Apabila “program” ini langsung dikaitkan dengan evaluasi program maka program didefinisikan sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang. Ada tiga pengertian penting dan perlu ditekankan dalam menetukan program, yaitu (1) realisasi atau implementasi suatu kebijakan, (2) terjadi dalam waktu relatif lama-bukan kegiatan tunggal tetapi jamak-berkesinambungan, dan (3) terjadi dalam organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
Sebuah program bukan hanya kegiatan tunggal yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat, tetapi merupakan kegiatan yang berkesinambungan karena melaksanakan suatu kegiatan. Oleh karena itu, sebuah program dapat berlangsung dalam kurun waktu relatif lama. Pengertian program adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan yang dilakukan bukan hanya satu kali tetapi berkesinambungan. Pelaksanaan program selalu terjadi di dalam sebuah organisasi yang artinya harus melibatkan sekelompok orang. Pengertian program yang dikemukakan di atas adalah pengertian secara umum.
Dalam kehidupan, terdapat juga program yang berlangsung hanya dalam waktu singkat, misalnya program peringatan Hari Pahlawan. Upacara peringatan dapat diklasifikasi sebagai program karena mengandung beberapa komponen dan dirancang melalui serangkaian rapat, tetapi pelaksanannya hanya sebentar. Perbedaan antara program sempurna yang memenuhi ciri-ciri di atas dengan yang mempunyai penyimpangan dapat kita ketahui dan pahami pada penjelasan bab-bab berikutnya.
Selain mengandung tiga pengertian, ada pula program-program tertentu yang menunjukan ciri lain, yaitu adanya kegiatan jamak yang merupakan rangkaian. Untuk memperjelas pengertian “jamak berangkai”, coba bandingkan beberapa kegiatan tunggal dan jamak berikut ini. Kegiatan menulis, berjalan, tidur, adalah sekali dilakukan selesai, dan tidak berada dalam urutan proses. Bandingkan dengan memasak. Memasak adalah kegiatan jamak, karena untuk dapat memasak harus ada bahan yang dibeli dan dimasak. Sesudah memasak, hasil masakannya dimakan.
Pembelajaran adalah kegiatan jamak karena melalui urutan dari penyusunan kurikulum di pusat, pembuatan Analisis Materi Pelajaran (AMP), pembuatan rencana mengajar, pelaksanan kegiatan belajar mengajar, yaitu pembelajaran dan evaluasi prestasi belajar. Di dalam rangkaian proses tersebut, kegiatan awal yang mendahului merupakan faktor penentu keberhasilan kegiatan berikut.
Apa alasan melakukan evaluasi program dan sejak kapankah evaluasi program mulai populer? Menurut Fernandes (1984), pemikiran secara serius tentang evaluasi program dimulai sekitar tahun delapan puluhan. Sejak tahun 1979-an telah terjadi perkembangan sehubungan dengan konsep-konsep rang berkenaan dengan eveluasi program, sebagai contoh teori yang dikemukakan oleh Cronbach (1982 dalam Fernandes 1984) tentang pentingnya rancangan dalam kegiatan evaluasi program.
Makna dari evaluasi program itu sendiri mengalami proses pemantapan. Definisi yang terkenal untuk evaluasi program dikemukakan oleh Ralph Tyler, yang mengatakan bahwa evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pandidikan sudah dapat terealisasikan (Tyler, 1950). Definisi yang lebih diterima masyarakat luas dikemukakan oleh dua orang ahli evaluasi, yaitu Cronbach (1963) dan Stufflebeam (1971). Mereka mengemukakan evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan. Sehubungan dengan definisi tersebut The Standford Evaluation Consortium Group menegaskan bahwa meskipun evaluator menyediakan informasi, evaluator bukanlah pengambil keputusan tentang suatu program (Cronbach, 1982).
Ronal G. Schnee (1977 dalam Gilbert Sax, 1975) mengatakan bahwa karena alasan politik dan sosial evaluator program sering dihadapkan pada sebuah dilema pertimbangan etis. Dari hasil penelitian Schnee menyimpulkan adanya sebelas isu, yaitu
1. Otonomi
Isu ini terkait dengan sikap personel yang terlibat dalam program, misalnya guru dan kepala sekolah. Bagaimana mereka tidak terpengaruh dengan keinginan menyanjung program ketika diminta untuk mengevaluasi?
2. Hubungan dengan klien
Isu ini menyangkut evaluator ketika melaksanakan evaluasi harus bekerja sama dengan klien, yaitu orang-orang yang ada di dalam program.
3. Kenyataan politik dan konteks sosial
Dalam mengevaluasi program evaluator tidak boleh mengabaikan kejadian politik dan sosial, agar hasil kerja dapat bermanfaat.
4. Nilai yang dimiliki evaluator
Dalam melaksanakan evaluasi tidak mungkin evaluator dapat melepaskan diri dari nilai-nilai yang dianut dan dijadikan pedoman hidupnya.
5. Pemilihan rancangan dan metodologi
Untuk memperoleh hasil rancangan yang maksimal dari kerja evaluasi, seyogianya evaluator dapat mempertimbangkan berbagai unsur dan mengadakan kompromi.
6. Memberi kesempatan kepada orang lain untuk menelaah (review) rancangan
Alasan untuk mengadakan tilik ulang adalah mengurangi adanya bias dan pemborosan.
7. Kujujuran mengakui keterbatasan dan hambatan
Laporan evaluasi harus mencantumkan penjelasan tentang hal-hal yang dihadapi evaluator sebagai akibat adanya keterbatasan dan hambatan.
8. Hasil negatif
Evaluator perlu menyertakan hasil negatif agar data yang dilaporkan lengkap dan berguna untuk meningkatan program.
9. Penyebaran hasil
Mengingat tujuan evaluasi program adalah mengumpulkan informasi bagi tindak lanjut program maka hasil evaluasi sangat perlu untuk disebarluaskan.
10. Perlindungan dari pelanggaran
Program merupakan hasil kebijakan yang diatur oleh peraturan. Oleh karena itu, evaluasi tidak boleh melanggar hal yang dilindungi.
11. Penolakan terhadap kontrak
Meskipun evaluasi ini penting namun pelaksana program berhak menolak evaluator dengan alasan yang tepat.
B. Komponen dan Indikator Program
Program merupakan sistem. Sedangkan, sistem adalah satu kesatuan dari beberapa bagian atau komponen program yang saling kait-mengait dan bekerja sama satu dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan dalam sistem. Dengan begitu, program terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan dan saling menunjang dalm rangka mencapai suatu tujuan.
Komponen program adalah bagian-bagian program yang saling terkait dan merupakan faktor-faktor penentu keberhasilan program. Karena suatu program merupakan sebuah sistem dan dikenal dengan istilah “subsistem”. Komponen atau subsistem merupakan bagian dari suatu program yang berupa kata benda, harus disebut dalam kata benda. Andai kata kita ingin mengetahui sabar dan tidaknya seseorang maka yang diukur bukan “sabar”, tetapi “kesabaran” jika akan mengetahui indah dan tidaknya taman, yang diukur bukan “indah” tetapi “keindahan”. Jadi kata keadaan atau kata sifat, kalau distatuskan sebagai komponen, harus diubah nama dalam bentuk kata benda, atau dengan kata lain harus dibendakan dahulu.
Menurut pengertian atau konsep umum, di dalam sebuah sistem, subsistem yang ada saling terkait dan saling mempengaruhi. Sistem sendiri berada di dalam sebuah naungan yang lebih besar yang dikenal dengan istilah “suprasistem”. Dalam suprasistem, sistem-sistem yang ada di bawah naungannya saling berkaitan dan bekerja sama menuju pencapaian tujuan suprasistem dimaksud. Sebagai contoh kaitan antara suprasistem, sistem, dan subsistem dalam dunia pendidikan adalah Departemen Pendidikan Nasional, sekolah, dan pembelajaran di kelas.
Dengan dipahaminya pembelajaran sebagai sebuah sistem maka dikatakan bahwa pembelajaran terjadi dalam sebuah program. Hubungan antara pembelajaran dengan prestasi atau hasil belajar tidak hanya digambarkan sebagai garis lurus tetapi saling hubungan antarsubsistemnya, yaitu siswa, guru, sarana belajar, kurikulum, lingkungan dan kegiatan pembelajaran itu sendiri. Selain yang sudah disebutkan, masih terdapat satu subsistem lain yang juga merupakan suatu faktor penentu nilai hasil belajar, yaitu evaluasi dalam (termasuk di dalamnya soal yang diberikan, cara mengawasi, kondisi fisik, cara menilai, situasi waktu evaluasi dilaksanakan, waktu yang disediakan, psikis siswa, dan sarana).
Jika hubungan jamak antarsubsistem pembelajaran dikaitkan antara satu dengan yang lainnya, akan dipahami bahwa siswa merupakan bahan mentah yang dilibatkan dalam proses pembelajaran, sedangkan hasil belajar merupakan keluar dari sistem dan subsistem lain yang mempunyai sumbangan terhadap pembelajaran, yang secara langsung berpengaruh terhadap hasil belajar.
Melalui penjelasan tentang kaitan antarkomponen pembelajar diketahui bahwa evaluasi hasil belajar merupakan salah satu di antara beberapa komponen program pembelajaran. Dengan bertitik tolak pada komponen tersebut bahwa evaluasi hasil pembelajaran hanya merupakan bagian dari evaluasi program pembelajaran. Jadi jelas, keberhasilan suatu program sangat ditentukan oleh komponen-komponen yang membentuk suatu program. Selain itu, evaluasi atau penilaian yang dimaksudkan untuk mengukur mutu hasil belajar juga dilakukan untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Informasi yang lebih rinci tentang sejauh mana ketercapaian dan kekurangtercapaian tujuan dapat diperoleh dengan cara mencermati bagian-bagian yang lebih kecil dari komponen sehingga diketahui dengan pasti letak penyebabnya. Hal ini berarti bahwa penilai harus memahami indikator-indikator dalam setiap komponen.
Indikator berasal dari kata dasar bahasa Inggris to indicate, artinya menunjukan. Dengan demikian maka indikator berarti alat penunjuk atau “sesuatu yang menunjukan kualitas sesuatu”. Contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah kue dapat dikatakan bermutu jika rasanya lezat. Maka “rasa” menunjukan kualitas kue, rasa merupakan indikator dari kualitas kue. Contoh lain, kualitas siswa cerdas ditunjukkan dengan nilai prestasi. Maka nilai prestasi belajar merupakan indikator dari kualitas kecerdasan. Untuk contoh terakhir ini, kecerdasan dapat distatuskan sebagai komponen, dan nilai prestasi sebagai indikator.
Jika kita menyimpulkan bahwa seorang siswa itu cerdas dengan indikator kecerdasan siswa bukan hanya nilai prestasi, tetapi juga kecepatan reaksi, kecepatan kerja dan daya kritis siswa maka indikator kecerdasan dalam nilai prestasi, kecepatan reaksi, kecepatan kerja dan daya kritis. Kesimpulan dari penjelasan tersebut adalah bahwa untuk menentukan tinggi rendahnya kecerdasan, seseorang harus mempertimbangkan tinggi rendahnya nilai prestasi, cepat tidaknya reaksi, cepat tidaknya kerja, dan tinggi rendahnya daya kritis. Tentang bagaimana mengidentifikasi indikator, akan dibicarakan dalam bagian-bagian berikut, baik secara terpisah maupun terlampir dalam uraian lain.
Evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui efektifitas komponen program dalam mendukung pencapaian tujuan program. Dengan demikian, jika diketahui bahwa hasil belajar (sebagai harapan dari program pembelajaran) tidak memuaskan, dapat dicari di mana letak kekurangannya atau komponen mana yang bekerja tidak dengan semestinya.
Setiap kegiatan yang merupakan realisasi dari suatu kebijakan harus dirancang dengan cermat dan teliti, supaya tujuan yang sudah ditetapkan dalam kebijakan dapat dicapai dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian maka kegiatan realisasi kebijakan merupakan sebuah program. Dengan memandang kegiatan tersebut sebagai sebuah program, ada satu keuntungan yang besar bagi para evaluator karena dapat mencermati letak kekuatan dan kelemahan program secara lebih baik.
Kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pengambil keputusan sebelum tentu dapat direalisasikan dengan baik sesuai dengan jiwa kebijakan. Untuk mengetahui seberapa jauh dan bagian mana dari tujuan yang sudah dicapai dan bagian mana yang belum tercapai serta apa penyebabnya, perlu adanya evaluasi program. Tanpa ada evaluasi, keberhasilan dan kegagalan program tidak dapat diketahui. Uraian tersebut dapat disimpulkan dalam sebuah definisi sebagai berikut. Evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan suatu kebijakan secara cermat dengan cara mengetahui efektifitas masing-masing komponennya.
C. Manfaat Evaluasi Program
Dalam organisasi pendidikan, evaluasi program dapat disamaartikan dengan kegiatan supervisi. Secara singkat, supervisi diartikan sebagai upaya mengadakan peninjauan untuk memberikan pembinaan maka evaluasi program adalah langkah awal dalam supervisi, yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula.
Kesalahan yang terjadi di masyarakat beberapa waktu yang lalu, yaitu supervisi hanya menekankan aspek ketatausahaan saja. Jika konsep seperti itu maka ada perbedaan antara eveluasi program dengan supervisi. Jika supervisi di lembaga pendidikan dilakukan dengan objek buku-buku dan pekerjaan clerical work maka evaluasi program dilakukan dengan objek lembaga pendidikan secara keseluruhan. Kebijakan supervisi yang berlangsung saat ini dapat dikatakan sama dengan evaluasi program, tetapi sarananya ditekankan pada kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain, prestasi belajar menjadi titik pusat perhatian. Oleh karena tujuan utamanya memperhatikan prestasi belajar bidang studi atau mata pelajaran maka supervisor (yang di dalam praktik disebut pengawas), disaratkan memiliki latar belakang studi tertentu dan harus memiliki pengalaman menjadi guru. Dilihat dari ruang lingkupnya, supervisi dibedakan menjadi 3, yaitu (1) supervisi kegiatan pembelajaran, (2) supervisi kelas, dan (3) supervisi sekolah.
Berdasarkan pengertian tadi, supervisi sekolah yang diartikan sebagai evaluasi program, dapat disamaartikan dengan validasi lembaga dan akreditasi. Evaluasi program merupakan langkah awal dari proses akreditasi dan validasi lembaga. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: evaluasi program pendidikan tidak lain adalah supervisi pendidikan dalam pengertian khusus, tertuju pada lembaga secara keseluruhan.
Apa hubungan antara evaluasi program dengan kebijakan? Program adalah rangkaian kegiatan sebagai realisasi dari suatu kebijakan. Apabila suatu program tidak dievaluasi maka tidak dapat diketahui bagaimana dan seberapa tinggi kebijakan yang sudah dikeluarkan dapat terlaksana. Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan hasil evaluasi program itulah para pengambil keputusan akan menentukan tidak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud dari hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari evaluator untuk mengambil keputusan (decision maker). Ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil dalam pelaksanaan sebuah program keputusan, yaitu:
1. Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.
2. Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya sedikit).
3. Melanjutkan, karena pelaksanaan program menunjukan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat.
4. Menyebarluaskan program (melaksanakan program ditempat-tempat lain atau mengulangi lagi dilain waktu), karena program tersebut berhasil dengan baik maka yang baik jika dilaksanakan lagi ditempat dan waktu yang lain.
D. Evaluator Program
Siapakah yang melakukan evaluasi program? Pertanyaan tersebut tidak lain diajukan untuk menyebutkan siapa yang menjadi evaluator program. Apakah semua orang berhak menjadi evaluator program? Tentu saja tidak. Untuk dapat menjadi evaluator, seseorang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Mampu melaksanakan, persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh evaluator adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan evaluator yang didukung oleh teori dan ketrampilan paktik.
2. Cermat, dapat melihat celah-celah dan detail dari program serta bagian program yang akan dievaluasi.
3. Objektif, tidak mudah dipengaruhi oleh keingainan pribadi agar dapat mengumpulkan data sesuai dengan keadaannya, selanjutnya dapat mengambil kesimpulan sebagaimana diatur oleh ketentuan yang harus diikuti.
4. Sabar dan tekun, agar di dalam melaksanakan tugas di mulai dari membuat rancangan kegiatan dalam bentuk menyusun proposal, menyusun instrument, mengumpulkan data, dan menyusun laporan, tidak gegabah dan tergesa-gesa.
5. Hati-hati dan bertanggungjawab, yaitu melakukan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada kekeliruan yang diperbuat, berani menanggung resiko atas segala kesalahannya.
Berdasarkan persyaratan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang dapat menjadi evaluator. Pertanyaan lain dapat diajukan sesudah memenuhi persyaratan dalah apakah yang bersangkutan diperbolehkan menjadi evaluator? Pertanyaan tersebut sebetulnya menyangkut pertimbangan dari mana orang yang menjadi eveluator diambil.
Ada dua kemungkinan asal (dari mana) orang untuk dapat menjadi evaluator program ditinjau dari program yang akan dievaluasi. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menentukan asal eveluator harus mempertimbangkan keterkaitan orang yang bersangkutan dengan program yang akan dievaluasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut evaluator dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu (1) evaluator dalam dan (2) evaluator luar.
1. Evaluator Dalam (Internal Evaluator)
Yang dimaksud dengan evaluator dalam adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksana program yang dievaluasi. Adapun kelebihan dan kekurangan dari evaluator dalam, yaitu:
Kelebihan:
1) Evaluator memahami betul program yang akan dievaluasi sehingga kekhawatiran untuk tidak atau kurang tepatnya sasaran tidak perlu ada. Dengan kata lain, evaluasi tepat pada sasaran.
2) Karena evaluator adalah orang dalam, pengambilan keputusan tidak perlu banyak mengeluarkan dana untuk membayar petugas evalusi.
Kekurangan:
1) Adanya unsur subjektivitas dari evaluator, sehingga berusaha menyampaikan aspek positif dari program yang dievaluasi dan menginginkan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik pula. Dengan kata lain, evaluator internal dapat dikhawatirkan akan bertindak subjektif.
2) Karena sudah memahami seluk-beluk program, jika evaluator yang ditunjuk kurang sabar, kegiatan evaluasi akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa sehingga kurang cermat.
2. Evaluator Luar (External Evaluator)
Yang dimaksud dengan evaluator luar adalah orang-orang yang tidak terkait dengan kebijakan dan implementasi program. Mereka berada di luar dan diminta oleh pengambil keputusan untuk mengevaluasi keberhasilan program atau keterlaksanaan kebijakan yang sudah diputuskan. Melihat bahwa status mereka berada di luar program dan dapat bertindak bebas dengan keinginan mereka sendiri maka tim evaluator luar ini biasa dikenal dengan nama tim bebas atau independen team.
Kelebihan:
1) Oleh karena tidak berkeprntingan atas keberhasilan program maka evaluasi luar dapat bertindak secara objektif selama melaksanakan evaluasi dan mengambil kesimpulan. Apa pun hasil evaluasi, tidak akan ada respons emosional dari evaluator karena tidak ada keinginan untuk memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil. Kesimpulan yang dibuat akan lebih sesuai dengan keadaan dan kenyataan.
2) Seorang ahli yang dibayar, biasanya akan mempertahankan kredibilitas kemampuannya. Dengan begitu, evaluator akan bekerja secara serius dan hati-hati.
Kekurangan:
1) Evaluator luar adalah orang baru, yang sebelumnya tidak mengenal kebijakan tentang program yang akan dievaluasi. Mereka berusaha mengenal dan mempelajari seluk-beluk program tersebut setelah mendapat permintaan untuk mengevaluasi. Mungkin sekali pada waktu mendapat penjelasan atau mempelajari isi kebijakan, ada hal-hal yang kurang jelas. Hal itu wajar karena evaluator tidak ikut dalam proses kegiatannya. Dampak dari ketidakjelasan pemahaman tersebut memungkinkan kesimpulan yang diambil kurang tepat.
2) Pemborosan, pengambil keputusan harus mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk membayar evaluator bebas.
Melihat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing evaluator, timbul pertanyaan: evaluator manakah yang lebih baik? Sebaiknya, orang yang ditunjuk sebagai evaluator berasal dari dalam dan luar program, yaitu gabungan antara orang-orang di dalam program atau unsur kebijakan, digabung dengan orang-orang dari luar. Dengan demikian, orang dalam dapat menjelaskan kepada orang luar tentang kebijakan yang tepat, sehingga diperkirakan tidak akan terjadi manipulasi hasil. Hal ini akan menguntungkan pengambil keputusan atau pelaksana program.
Perbedaan menonjol antara evaluator dalam dan evaluator luar adalah adanya satu langkah penting sebelum mereka mulai melaksanakan tugas. Oleh karena evaluator luar adalah pihak asing yang tidak tahu-menahu dan tidak berkepentingan dengan program, yang diasumsikan belum memahami seluk-beluk program maka terlebih dahulu tim tersebut perlu mempelajari program yang akan dievaluasi.
Hal-hal yang harus dipelajari oleh seorang evaluator meliputi tujuan program, koponen program, siapa pelaksananya, dan pihak-pihak mana yang terlibat, kegiatan apa saja yang sudah dilaksanakan, dan gambaran singkat tentang sejauh mana tujuan program sudah dicapai.
Sesudah tin evaluator betul-betul memahami program, barulah mereka mulai menyusun rencana atau desain evaluasi. Dalam proses memantapkan desain dan instrumen (paling tidak kisi-kisi instruman) tim evaluator sebaiknya masih terus berhubungan dengan salah seorang personel atau lebih baik lagi jika dapat melibatkan penanggung jawab program agar ketika sampai pada saatnya harus mengumpulkan data, evaluator tidak ragu-ragu lagi dalam melangkah.
E. Tujuan dan Sasaran Evaluasi Program
Pada kajian lalu sudah disimpulkan bahwa program adalah sebuah kegiatan sebagai implementasi kebijakan. Setiap kegiatan tentu mempunyai tujuan, demikian juga dengan evaluasi program. Pada bagian ini, akan dipaparkan mengenai tujuan program dan tujuan evaluasi program yang juga disertai beberapa contoh.
1. Kaitan antara Tujuan Program dengan Tujuan Evaluasi Program
Secara singkat evaluasi program merupakan upaya untuk mengukur ketercapaian program, yaitu mengukur sejauh mana sebuah kebijakan dapat terimplementasikan.
Berikut ini beberapa contoh kegiatan sederhana yang merupakan program dan yang bukan program.
a. Kegiatan membaca
tujuan kegiatan ini adalah untuk menangkap isi bacaan. Sedangkan tujuan evaluasi kegiatan adalah untuk mengetahui apakah pembaca dapat menangkap isi bacaan yang dibaca.
b. Program seminar
tujuan program ini adalah untuk membahas sesuatu topik di dalam forum peserta seminar. Sedangkan tujuan evaluasi program ini adalah untuk mengetahui (melalui pengumpulan data) apakah topik yang diajukan dalam seminar sempat dibahas, dan apakah peserta seminar mempunyai kesempatan untuk membahas topik yang diajukan dalam forum seminar.
c. Program usaha kesehatan sekolah (UKS)
Tujuan program ini adalah untuk mengatasi masalah kesehatan siswa dan personel lain di sekolah yang bersangkutan. Sedangkan tujuan evaluasi programnya adalah untuk mengumpulkan informasi tentang tertanganinya masalah kesehatan di sekolah, antara lain untuk mengetahui apakah layanan yang diberikan oleh UKS memuaskan bagi para siswa dan personel sekolah lainnya.
Dari ketiga contoh di atas, dapat ditentukan mana kegiatan yang merupakan penelitian dan mana yang penelitian tetapi juga sekaligus evaluasi program. Evaluasi program dilakukan dengan cara yang sama dengan penelitian. Jadi, evaluasi program adalah penelitian yang mempunyai ciri khusus, yaitu melihat keterlaksanaan program sebagai realisasi kebijakan, untuk menentukan tindak lanjut dari program dimaksud.
Terdapat banyak persamaan antara penelitian dengan evaluasi. Pendekatan, instrumen, dan langkah-langkah yang digunakan pun bisa sama. Keduanya dimulai dari menentukan sasaran (variabel), membuat kisi-kisi, menyusun instrumen, mengumpulkan data, analisis data, dan mengambil kesimpulan, yang membedakan adalah akhirnya. Jika kesimpulan penelitian diikuti dengan saran maka evaluasi program selalu harus mengarah pada pengambilan keputusan.
Dari penjelasan tambahan diatas diketahui bahwa evaluasi program diarahkan pada perolehan rekomendasi sehingga tujuan evaluasi program tidak boleh terlepas dari tujuan program itu merupakan dasar untuk merumuskan tujuan evaluasi program. Secara singkat dapat dibuat sebuah ketentuan bahwa: Tujuan evaluasi program harus dirumuskan dengan titik tolak tujuan program yang dievaluasi.
Agar pengukuran tujuan dapat diketahui secara cermat dan teliti sampai diketahui sisi positif dan negatifnya, dapat menunjukkan bagaimana dari kebijakan yang dapat diimplementasikan dan mana yang tidak dapat diimplementasikan, serta apa penyebabnya maka tujuan evaluasi perlu dirinci. Jika Anda sudah belajar tentang teori mengajar maka Anda dapat membandingkan tujuan evaluasi program dengan tujuan pembelajaran, yaitu tujuan pembelajaran umum (TPU) dan tujuan pembelajaran khusus (TPK). Cara merumuskan juga tidak jauh berbeda.
Ada dua macam tujuan evaluasi, yaitu umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan pada program secara keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan pada masing-masing komponen. Agar dapat melakukan tugasnya maka seorang evaluator program dituntut untuk mampu mengenali komponen-komponen program.
Dalam menentukan tujuan program, evaluator program harus dapat menangkap harapan dari penentu kebijakan yang mungkin bertindak sebagai pengelola, atau mungkin juga tidak. Sebelum melakukan evaluasi, kita harus mencermati tujuan program dan merenungkan apa yang menjadi tujuan evaluasi program? Pada bagian yang lalu sudah disebutkan bahwa tujuan evaluasi program dirumuskan bertitik tolak pada tujuan program. Apakah arti kalimat tersebut dan sejauh mana keterkaitannya?
Untuk mempermudah mengidentifikasi tujuan evalausi program, kita harus memperhatikan unsur-unsur dalam kegiatan atau penggarapannya. Ada tiga unsur yang penting di dalam kegiatan atau penggarapan suatu kegiatan, yaitu
a. what = apa yang digarap
b. who = siapa yang menggarap, dan
c. how = bagaimana menggarapnya.
Dengan memfokuskan perhatian pada tiga unsur kegiatan tersebut, paling sedikit dapat diidentifikasi adanya 3 (tiga) komponen kegiatan, yaitu tujuan, pelaksana kegiatan, dan prosedur/teknik pelaksana.
2. Sasaran Evaluasi Program
Pada kajian tentang kaitan antara program dengan evaluasi program, sudah dijelaskan mengenai komponen program dan bagaimana cara merumuskan tujuan berdasarkan dua macam tujuan evaluasi, yaitu umum dan tujuan khusus dengan bertitik tolak pada tujuan program dan kondisi harapan untuk setiap komponen programnya.
Sedangkan untuk menentukan sasaran evalusi, evaluator perlu mengenali program dengan baik, terutama komponrn-komponennya. Karena yang menjadi ssasaran evaluasi bukan program secara keseluruhan tetapi komponen atau bagian program.
Mengapa sasaran evaluasi tertuju pada komponen? Seperti alasan mengapa tujuan umum harus dijabarkan menjadi tujuan khusus maka sasaran evaluasi diarahkan pada komponen agar pengamatannya dapat lebih cermat dan data yang dikumpulkan lebih lengkap. Untuk itulah maka evaluator harus memiliki kamampuan mengidentifikasi komponen program yang akan dievaluasi.
F. Kriteria Evaluasi Program
Program adalah realisasi dari suatu kebijakan. Sedangkan evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui tingkatketerlaksaan program, atau dengan kata lain, untuk mengetahui implementasi dari suatu kebijakan. Dengan demikian, kegiatan evaluasi program mengacu pada tujuan, dengan kata lain, tujuan tersebut dijadikan ukuran keberhasilan. Pertanyaannya, apakah perbedaan antara evaluasi program dengan penelitian? Atau bagaimana perbandingan antara evaluasi program dengan penelitian? Di depan sudah disinggung secara singkat persamaan dan perbedaan antara penelitian denagan evaluasi program. Perbedaan yang sangat mencolok terletak pada arah kegiatannya. Evaluasi program mempunyai ukuran keberhasilan, yang dikenal dengan istilah kriteria. Oleh karena dalam evaluasi program kedudukan kriteria sangat penting maka perlu dibicarakan secara mendalam.
1. Pengertian Kriteria
Istilah “kriteria” dalam penilaian sering juga dikenal dengan kata “tolok ukur” atau “standar”. Dari nama-nama yang digunakan tersebut dapat segera dipahami bahwa kriteria, tolok ukur, atau standar, adalah sesuatu yang digunakan sebagai patokan atau batas minimal untuk sesuatu yang diukur. Kriteria atau standar dapat disamakan dengan “takaran”. Jika untuk mengetahui berat beras digunakan timbangan, panjangnya beda digunakan meteran maka kriteria atau tolok ukur digunakan untuk menakar kondisi objek yang dinilai.
Tentang batas yang ditunjuk oleh kriteria, sebagian orang mengatakan bahwa tolok ukur adalah “batas atas”, artinya batas maksimal yang harus dicapai. Sementara sebagian orang lainnya mengatakan bahwa tolok ukur atau kriteria adalah “batas bawah”, yaitu batas minimal yang harus dicapai. Dapat disimpulkan bahwa kriteria atau tolok ukur itu bersifat jamak karena menunjukkan batas atas dan batas bawah, sekaligus batas-batas di antaranya. Dengan demikian kriteria menunjukkan gradasi atau tingkatan, dan ditunjukkan dalam bentuk kata keadaan atau predikat.
Permasalahan di dalam kriteria evaluasi program adalah aturan tentang bagaimana menentukan peringkat-peringkat kondisi sesuatu atau rentangan-rentangan nilai, agar data yang diperoleh dapat dipahami oleh orang lain dan bermakna bagi pengambilan keputusan dalm rangka menentukan kebijakan lebih lanjut. Jika evaluator tidak berniat membuat kriteria khusus, sebaiknya menggunakan kriteria yang sudah lazim digunakan dan dikenal oleh umum, misalnya skala 1-10 atau skala 1-100.
Dari mana sebuah angka diperoleh atau bagaimana menetukan suatu angka? Misalnya seorang guru memberikan nilai akhir untuk pengisian rapor adalah angka “7”. Untuk menentukan angka 7 tersebut seorang guru mempertimbangkan beberapa hal. Komponen yang membentuk nilai misalnya ulangan harian, ulangan umum, dan tugas-tugas. Ketika guru menentukan nilai ulangan harian saja, sudah harus mempertimbangkan sekurang-kurangnya dua hal, yaitu benar-salahnya jawaban dan banyaknya soal yang dapat diselesaikan.
Jika kriteria untuk prestasi belajar menggunakan sepuluh jenjang penilaian, yaitu 1 sampai dengan 10, atau 1 sampai dengan 100 (meskipun tidak semua digunakan secara rutin), untuk nilai dalam evaluasi program pada umumnya menggunakan kriteria atau tolok ukur lima jenjang. Namun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan tiga jenjang atau tujuh jenjang.
Apakah memang harus gasal? Tentang gasal dan genapnya jenjang kriteria ada kelebihan dan kekurangan, jika jenjangnya gasal, berarti ada nilai di tengah untuk menyatakan “Cukup” atau “Sedang”. Ada sebagaian ahli yang “mencurigai” penggunaan nilai tengah karena dikhawatirkan untuk responden yang ragu-ragu dalam menetukan pilih, akan dengan cepat memilih nilai tengah. Untuk menghindari hal ini penyusun mencantumkan pilihan nilai tengah. Untuk itu banyaknya pilihan bisa 2, 4 atau 6, jika pilhan terlalu banyak, dikhawatirkan justru akan membingungkan responden dan dikatakan terlalu njlimet.
2. Mengapa Perlu Ada Kriteria?
Kriteria atau tolok ukur perlu dibuat oleh evaluator karena evaluator terdiri dari beberapa orang yang memerlukan kesepakatan di dalam menilai. Selain alasan sederhana tersebut, ada beberapa alasan lain yang lebih luas dan dapat lebih dipertanggungjawabkan, yaitu:
a. Dengan adanya kriteria atau tolok ukur, evaluator dapat lebih mantap dalam malakukan penilaian terhadap objek yang akan dinilai karena ada patokan yang diikuti.
b. Kriteria atau tolok ukur yang sudah dibuat dapat digunakan untuk menjawab atau mempertanggungjawabkan hasil penilaian yang sudah dilakukan, jika ada orang yang ingin menelusuri lebih jauh atau ingin mengaji ulang.
c. Kriteria atau tolok ukur digunakan untuk mengekang masuknya unsur subjektif yang ada pada diri penilai. Dengan adanya kriteria maka dalam melakukan evaluasi, evaluator dituntun oleh kriteria, mengikuti butir demi butir, tidak mendasarkan diri atas pendapat pribadi (yang mungkin sekali “dikotori” oleh seleranya)
d. Dengan adanya kriteria atau tolok ukur maka hasil evaluasi akan sama meskipun dilakukan dalam waktu yang berbeda dan dalam kondidi fisik penilai yang berbeda pula. Misalnya penilai sedang dalam kondisi badan yang masih segar atau dalam keadaan lelah hasilnya akan sama.
e. Kriteria atau tolok ukur memberikan arahan kepada evaluator apabila banyak evaluator lebih dari satu orang. Kriteria atau tolok ukur yang baik akan ditafsirkan sama oleh siapa saja yang menggunakannya.
3. Apa Dasar Pembuatan Kriteria.
Yang dimaksud dengan istilah “dasar” dalam pembuatan standar atau kriteria adalah sumber pengambilan kriteria secara keseluruhan. Dengan pengertian bahwa kriteria adalah suatu ukuran yang menjadi patokan yang harus dicapai maka kriteria tersebut harus “top” kondisinya. Timbul pertanyaan, dari manakah yang “top” itu diambil? Mengingat banyaknya objek yang diukur dan dengan harapan serta kondisi yang berbeda-beda maka ada beberapa sumber pembuatan kriteria. Kriteria atau tolok ukur sebaiknya dibuat bersama, dan sebaiknya dibuat oleh orang-orang yang akan menggunakan tidak ada masalah karena mereka sudah memahami, bahkan tahu apa yang melatarbelakangi.
a. Sumber Pertama
Apabila yang dievaluasi merupakan suatu implementasi kebijakan maka yang dijadikan sebagai kriteria atau tolok ukur adalah peraturan atau ketentuan yang sudah dikeluarkan berkenaan dengan kebijakan yang bersangkutan. Apabila penentuan kebijakan tidak mengeluarkan ketentuan secara khusus maka penyusun kriteria menggunakan ketentuan yang pernah berlaku umum yang sudah dikeluarkan oleh pengambil kebijakan terdahulu dan belum pernah dicabut masa berlakunya.
b. Sumber Kedua
Dalam mengeluarkan kebijakan biasanya disertai dengan buku pedoman atau petunjuk pelasanaan (juklak). Di dalam juklak tertuang informasi yang lengkap, sasaran, dan rambu-rambu pelaksanaanya. Butir-butir yang tertera di dalamnya, terutama dalam tujuan kebijakan, mencerminkan harapan dari kebijakan. Oleh karena itu, pedoman atau petunjuk pelaksanaan itulah yang distatuskan sebagai sumber kriteria.
c. Sumber Ketiga
Apabila tidak ada ketentuan atau petunjuk pelaksanaan yang dapat digunakan oleh penyusun sebagai sumber kriteria maka penyusun menggunakan konsep atau teori-teori yang terdapat dalam buku-buku ilmiah.
d. Sumber Empat
Jika tidak ada ketentuan, peraturan atau petunjuk pelaksanaan, dan juga tidak ada teori yang diacu, penyusun disarankan untuk menggunakan hasil penelitian. Dalam hal ini sebaiknya tidak langsung mengacu pada hasil penelitian yang baru saja diselesaikan seorang peneliti (apalagi peneliti pemula), tetapi disarankan sekurang-kurang hasil penelitian yang sudah dipublikasikan atau diseminarkan. Jika ada, yang sudah disajikan kepada orang banyak, yaitu disimpan di perpustakaan umum.
e. Sumber Kelima
Apabila penyusun tidak menemukan acuan yang tertulis dan mantap, dapat minta bantuan pertimbangan kepada orang yang dipandang mempunyai kelebihan dalam bidang yang sedang dievaluasi sehingga terjadi langkah yang dikenal dengan expert judgment.
f. Sumber Keenam
Apabila sumber acuan tidak ada, sedangkan ahli yang dapat diandalkan sebagai orang yang lebih memahami masalah dibanding penyusun juga sukar dicari atau dihubungi maka penyusun dapat menentukan kriteria secara bersama dengan anggota tim atau beberapa orang yang mempunyai wawasan tentang program yang akan dievaluasi. Perbedaan cara ini dengan expert judgment adalah bahwa seorang expert tentunya memiliki keahlian yang menonjol sedangkan kelompok yang diundang dalam diskusi ini tidak harus yang sangat mempunyai kemampuan lebih. Kriteria atau tolok ukur yang tersusun dari diskusi ini merupakan hasil kesempatan kelompok.
g. Sumber Ketujuh
Dalam keadaan yang sangat terpaksa karena acuan tidak ada, ahli juga tidak ada, sedangkan untuk menyelenggarakan diskusi terlalu sulit maka jalan terakhir adalah melakukan pemikiran sendiri. Dalam keterpaksaan seperti ini penyusun sendiri sebagai dasar untuk menyusun kriteria yang akan digunakan dalam mengavaluasi program. Jika ternyata sesudah digunakan dalam mengevaluasi masih banyak dijumpai kesulitan, penyusun harus meninjau kembali dan wajib memperbaikinya berkali-kali sampai mencapai suatu rumusan yang sesuai dengan kondisi yang diinginkan.
4. Cara Menyusun Kriteria
Sebelum membicarakan tentang bagaimana menyusun kriteria atau tolok ukur perlu terlebih dahulu dipahami bahwa wujud dari kriteria adalah tingkatan atau gradasi kondisi sesuatu yang dapat ditransfer menjadi nilai. Secara garis besar ada dua macam kriteria, yaitu kriteria kuantitatif dan kriteria kualitatif.
a. Kriteria Kuantitatif
Kriteria kuantitatif sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) dan (2) kriteria dengan pertimbangan
1) Kriteria kuantitatif tanpa pertimbangan
Kriteria yang disusun hanya dengan memperhatikan rentangan bilangan tanpa mempertimbangkan apa-apa dilakukan dengan membagi rentangan bilangan.
Contoh:
Kondisi maksimal yang diharapkan untuk prestasi belajar diperhitungkan 100%. Jika penyusun menggunakan lima kategori nilai maka antara 1% dengan 100% dibagi rata sehingga menghasilkan kategori sebagai berikut.
• Nilai 5 (Baik Sekali), jika mencapai 81-100%
• Nilai 4 (Baik), jika mencapai 61-80%
• Nilai 3 (Cukup), jika mencapai 41-60%
• Nilai 2 (Kurang), jika mencapai 21-40%
• Nilai 1 (Kurang Sekali), jika mencapai < 21%
Istilah untuk sebutan yang menunjukkan kualitas bukan hanya dari Baik Sekali sampai dengan Kurang Sekali, tetapi bisa Tinggi Sekali, Tinggi, Cukup, Rendah, dan Rendah Sekali, atau mungkin Sering Sekali, Sering, sampai dengan Jarang Sekali. Selain itu, dapat juga menggunakan istilah-istilah lain yang menenjukkan kualitas suatu keadaan, sifat, atau kondisi, seperti Banyak Sekali, Sibuk Sekali, dan lain-lainnya. Untuk pertimbangan atau pendapat orang, penyusun dapat menggunakan kata Setuju, Sependapat, dan lain-lain.
2) Kriteria kuantitatif dengan pertimbangan
Ada kalanya beberapa hal kurang tepat jika kriteria kuantitaf dikategorikan dengan membagi begitu saja rentangan yang ada menjadi rentang sama rata. Sebagai contoh adalah ini di beberapa perguruan tinggi untuk menetukan nilai dengan huruf A, B, C, D, dan E. bagaimana menentukan nilai untuk masing-masing huruf mengacu pada peraturan akademik berdasarkan besarnya persentase pencapaian tujuan belajar sebagai berikut:
• Nilai A : rentangan 80-100%
• Nilai B : rentangan 66-79%
• Nilai C : rentangan 56-65%
• Nilai D : rentangan 40-55%
• Nilai E : kurang dari 40%
Melihat pengkategorian nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa rentangan di dalam setiap kategori tidak sama, demikian juga jarak antara kategori yang satu dengan lainnya. Hal ini dibuat karena adanya pertimbangan tertentu berdasarkan sudut pandang dan pertimbangan evaluator.
b. Kriteria Kualitatif
Yang dimaksud dengan kriteria kualitatif adalah kriteria yang dibuat tidak menggunakan angka-angka. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam menentukan kriteria kualitatif adalah indikator dan yang dikenai kriteria adalah komponen. Seperti halnya kriteria kuantitatif, jenis kriteria kualitatif juga dibedakan menjadi dua, yaitu (a) kriteria kualitatif tanpa pertimbangan, dan (b) kriteria kualitatif dengan pertimbangan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
1) Kriteria kualitatif tanpa pertimbangan
Dalam menyusun kriteria kualitatif tanpa pertimbangan, penyusun kriteria tinggal menghitung banyak indikator dalam komponen, yang dapat memenuhi persyaratan. Dari penjelasan tentang hubungan antara indikator, komponen, dan program tersebut dapat disimpulkan bahwa (1) Komponen adalah unsur pembentuk kriteria program. (2) Indikator adalah unsur pembentuk kriteria komponen.
2) Kriteria kualitatif dengan pertimbangan
Dalam menyusun kriteria, terlebih dahulu tim evaluator perlu merundingkan jenis kriteria mana yang akan digunakan, yaitu memilih kriteria tanpa pertimbangn atau dengan pertimbangan. Jika yang dipilih adalah kriteria dengan pertimbangan maka tentukan indikator mana yang harus diprioritaskan atau dianggap lebih penting dari yang lain.
Kriteria kualitatif dengan pertimbangan disusun melalui dua cara, yaitu 1) dengan mengurutkan indikator, dan 2) dengan menggunakan pembobotan.
a) Kriteria kualitatif dengan pertimbangan mengurutkan indikator
Jika penyusun memilih kriteria dengan pertimbangan mengurutkan indikator dengan urutan prioritas maka dihasilkan kriteria kualitatif dengan pertimbangan sebagai berikut.
• Nilai 5, jika memenuhi semua indikator
• Nilai 4, jika memenuhi (b), (c), dan (d) atau (a)
• Nilai 3, jika memenuhi salah satu dari (b) atau (c) saja, dan salah satu dari (d) atau (a)
• Nilai 2, jika memenuhi salah satu dari empat indikator
• Nilai 1, jika tidak ada satu pun indikator yang memenuhi.
Penentuan nilai yang dikemukakan di atas hanya merupakan contoh. Kita perlu mempertimbangkan apa saja indikator yang diidentifikasikan, mana yang ditentukan sebagai indikator penting, serta bagaimana gradasi nilai dibuat dalam menentukan kriteria. Yang penting adalah bahwa apa pun yang ditentukan harus didukung oleh argumentasi atas penalaran yang benar, yaitu alasan yang masuk akal.
Jika yang dikenai kriteria itu bukan indikator tetapi subindikator (bagian dari indikator) maka yang digunakan untuk mempertimbangkan penentuan kriteria adalah subindikator atau rincian dari indikator tersebut. Jika evaluator memandang penting mencermati indikator secara lebih rinci maka kriteria yang kan digunakan ditentukan atau dasar subindikator yang sudah diidentifikasi.
Perlu diketahui oleh para evaluator bahwa mengadakan identifikasi indikator dn subindikator seperti yang dicontohkan memang bukan pekerjaan yang mudah. Untuk dapat bertambah jeli mendapatkan indikator dari sebuah komponen dan mendapatkan subindikator dari masing-masing indikator, diperlukan latihan dan pembiasaan. Selain itu, perlu juga diketahui bahwa ada kalanya sebuah indikator sudah tidak dapat dipecah lagi menjadi lebih kecil, yaitu subindikator. Dalam keadaan seperti itu, indikator hanya merupakan satu-satunya dasar pembuatan kriteria atau tolok ukur.
b) Kriteria kualitatif dengan pertimbangan pembobotan
Selain mempertimbangkan indikator sebagai unsur untuk menentukan gradasi nilai dalam kriteria, ada juga cara lain yang dapat digunakan oleh evaluator dalam menentukan nilai, yaitu pembobotan.
Jika dalam menentukan kriteria dengan pertimbangan indikator, niali dari tiap-tiap indikator tidak sama, kemudian letak, kedudukan, dan pemenuhan persyaratannya dibedakan dengan menentukan urutan, dalam pertimbangan pembobotan indikator-indikator yang ada diberi nilai dengan bobot berbeda. Penentuan peranan subindikator dalam mendukung nilai indikator harus disertai dengan alasan-alasan yang tepat.
Kalau sudah ditentukan pembobotannya, kini para penilai tinggal memilih akan menggunakan skala berapa dalam menilai objek. Mungkin skala 1-3, 1-4, atau 1-5, atau bahkan seperti yang lazim digunakan di sekolah, yaitu skala 1-10? Terserah saja. Yang penting adalah proses pada waktu menentukan nilai akhir indikator.
Cara memperoleh nilai akhir indikator adalah:
1) mengalikan nilai masing-masing subindikator dengan bobotnya;
2) membagi jumlah nilai subindikator dengan jumlah bobot
Penggunaan kriteria dengan pertimbangan unsur dan pembobotan ini banyak digunakan dalam dunia pendidikan. Ketika guru menentukan nilai akhir mata pelajaran, biasanya memberikan bobot nilai ujian lebih besar dibandingkan dengan nilai ulangan harian. Sebagai kelengkapan pertimbangan, nilai tugas juga dipertimbangkan dalam menambah unsur penunjang, tetapi bobot yang diberikan lebih kecil dari ulangan dan ujian. Ada kalanya dosen juga memperhitungkan kehadiran sebagai salah satu unsur yang dipertimbangkan. Alasannya, jika seorang mahasiswa hadir kuliah, meskipun minim, tentu memperoleh ilmu yang tersimpan diotaknya. Perolehan itu tentu lebih besar dibanding dengan nol besar yang diperoleh mahasiswa yang tidak hadir. Dengan masuknya unsur kehadiran dalam penentuan nilai hadir ini, hasil penilaian menjadi lebih cermat sehingga menjadi lebih baik.
Sesudah kita memahami cara menentukan nilai indikator dengan dasar hasil penilaian subindikator, selanjutnya adalah menentukan nilai komponen dengan dasar nilai indikator, dan nilai program dengan dasar nilai komponen. Kalau dalam menghitung nilai akhir indikator kita manggunakan rumus berdasarkan subinikator, maka dalam menghitung nilai komponen menggunakan indikator sebagai unsur.
Bertitik tolak pada pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Tinggi rendahnya kualitas suatu program sangat tergantung dari tinggi rendahnya kualitas komponen.
2. Tinggi rendahnya kualitas komponen tergantung dari tinggi rendahnya kualitas indikator
3. Tinggi rendahnya kualitas komponen tergantung dari tinggi rendahnya kualitas subindikator Tinggi rendahnya kualitas komponen tergantung dari tinggi rendahnya kualitas indikator
Ringkasan:
Evaluasi merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris, evaluation. Menurut pengertian umum, “program” dapat diartikan sebagai “rencana”. Sebuah program bukanlah hanya kegiatan tunggal yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat, tetapi merupakan kegiatan yang berkesinambungan karena melaksanakan suatu kebijakan. Evaluasi program adalah langkah awal dalam supervisi, yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula. Evaluasi program itu sangat bermanfaat terutama bagi pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud dari evalausi adalah sebuah rekomendasi dari evaluator untuk pengambil keputusan (decision maker)
Ada dua macam tujuan evaluasi, yaitu umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan pada program secara keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan pada masing-masing komponen. Istilah “kriteria” dalam penilaian sering juga dikenal dengan kata “tolok ukur” atau “standar”. Evaluasi program perlu memiliki kriteria. Kriteria atau tolok ukur perlu dibuat oleh evaluator karena evaluator terdiri dari beberapa orang yang memerlukan kesepakatan di dalam menilai dan agar tidak terpengaruh oleh pendapat pribadi, karena sudah dituntun oleh sebuah standar.
Ada dua macam tolok ukur, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Masing-masing jenis tolok ukur ada yang disusun dan digunakan tanpa pertimbangan dan ada yang dengan pertimbangan. Keduanya tetap ilmiah karena disusun berdasarkan penalaran yang benar.
Rabu, 16 Juni 2010
PEMBERDAYAAN GURU DI ERA GLOBALISASI
Sejalan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, khususnya dalam bidang informasi dan komunikasi, telah menjadikan dunia ini terasa semakin menjadi sempit dan transparan. Antara satu belahan dunia dengan belahan dunia lainnya dengan mudah dapat dijangkau dan dilihat dalam waktu yang relatif singkat.
Itulah globalisasi, yang di dalamnya membawa berbagai implikasi yang luas dan kompleks bagi kehidupan manusia. Implikasi nyata dari adanya globalisasi adalah terjadinya perpacuan manusia yang mengglobal. Seorang individu dalam berkarya tidak hanya dituntut untuk mampu berkiprah dan berkompetisi sebatas tingkat lokal dan nasional semata, namun lebih jauh harus dapat menjangkau sampai pada tingkat kompetisi global, yang memang di dalamnya berisi sejumlah tantangan dan peluang yang begitu ketat.
Pada saat yang bersamaan, kita pun saat ini sedang dihadapkan dengan era otonomi daerah, yaitu sebuah paradigma baru dari sistem pemerintahan, yang semula bersifat otoriter-sentralistik menuju ke arah demokratik-desentralistik. Sebagai paradigma baru, tentunya akan mempunyai implikasi yang sangat luas pula terhadap tatanan kehidupan. Berbagai persoalan akan muncul, baik yang bersifat tantangan maupun hambatan. Dengan kewenangan yang luas, daerah seyogyanya lebih mampu untuk memberdayakan diri dan memacu partisipasi masyarakatnya dalam berbagai kegiatan pembangunan, sehingga pada gilirannya benar-benar akan dapat terwujud berbagai kemajuan yang signifikan.
Dari sini timbul pertanyaan, bagaimanakah agar kita benar-benar dapat survive dan eksis guna menghadapi kedua tantangan zaman tersebut. Tak lain jawabannya, kualitas sumber daya manusia ! Faktor kualitas sumber daya manusia menjadi amat penting karena hanya dengan sentuhan manusia-manusia yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, keterampilan yang handal dan sikap moral yang tinggi, maka berbagai persoalan yang muncul sebagai konsekwensi logis dari adanya era globalisasi dan era otononomi daerah sangat diyakini akan bisa terjawab. Oleh karena itu, gerakan usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia hendaknya menjadi komitmen seluruh komponen bangsa. Melalui usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat tercipta manusia-manusia yang dapat diandalkan untuk menjadi motor penggerak pembangunan di daerah. Sekaligus pula, dapat diandalkan untuk mampu berkiprah dalam percaturan global.
Pada kenyataaannya, memang harus diakui bahwa saat ini tingkat kualitas sumber daya manusia Indonesia sangat mengkhawatirkan, jangankan untuk bersaing pada tingkat global, untuk tingkat regional ASEAN saja, kita berada pada posisi di bawah Vietnam, yakni sebuah negara yang beberapa tahun lalu berkecamuk dilanda perang saudara. Namun, dengan dukungan political will yang kuat dari pemerintah setempat untuk mengkampanyekan pentingnya pendidikan, dengan mengangkat tema sentral posisi guru sebagai kunci utama keberhasilan peningkatan sumber daya manusia, maka dalam waktu yang relatif singkat, saat ini Vietnam telah berhasil mengangkat posisi kualitas sumber daya manusianya di atas kita.
Rasanya tak perlu malu, kalau kita belajar menimba pengalaman dari keberhasilan Vietnam dalam membangun sumber daya manusianya, yakni dengan berusaha menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan, dengan tema sentral yang sama yakni guru sebagai kunci utama keberhasilan peningkatan sumber daya manusia. Memang, berdasarkan hasil studi di negara-negara berkembang telah membuktikan bahwa guru memberikan kontribusi tertinggi dalam pencapaian prestasi belajar (36%), kemudian disusul manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%), sebagaimana disampaikan oleh Dirjen Dikdasmen pada acara Dies Natalis XVI Universitas Terbuka.
Suka atau tidak suka, memang harus diakui bahwa semasa rezim orde baru yang otoriter dan sentralistik itu telah menempatkan profesi guru berada pada posisi yang termarjinalkan dari keseluruhan sistem pembangunan. Akibatnya, dalam pengelolaan dan pengembangan proses pembelajaran seringkali guru menjadi miskin kreativitas, karena selalu dicekoki oleh berbagai aturan yang sangat mengikat dan kaku. Kebebasan mengaktulisasikan diri untuk menjadi seorang profesional terhambat dan guru hanya berperan sebagai tenaga juru belaka, yang bertugas menyampaikan apa yang telah disajikan dari pusat dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada tahap evaluasi sekali pun.
Terlebih lagi dengan adanya kewajiban untuk memenuhi target-target materi kurikulum tertentu yang seringkali menimbulkan rasa stress, baik guru maupun siswa. Demi mengejar target materi, seringkali terjadi pemaksaan penjejalan materi kepada siswa. Mengerti atau tidak mengerti apa yang telah disampaikan guru, menjadi urusan belakangan.
Beban lain yang harus ditanggung guru yaitu menyangkut kewajiban membuat berbagai perangkat administrasi yang sudah terpolakan secara baku dan bermacam-macam jenisnya. Bahkan ada persepsi bahwa guru yang baik adalah yang memiliki administrasi lengkap. Dari sini timbul sikap pragmatis, yang penting administrasi bagus, meskipun pada kenyataannya, antara yang tertulis dalam administrasi dengan pelaksanaan, sesungguhnya sangat bertolak belakang.
Hal yang mendasar dan menjadi persoalan utama guru adalah menyangkut kesejahteraannya. Tunjangan fungsional yang diskriminatif dibandingkan dengan profesi lain telah menimbulkan rasa cemburu di kalangan guru. Selain itu, berbagai kasus pemotongan gaji untuk kepentingan yang tidak masuk akal seringkali terjadi. Begitu juga, prosedur kenaikan pangkat yang berbelit-belit dan selalu berakhir dengan pungutan-pungutan yang tidak jelas juntrungnya, kiranya semakin melengkapi rasa frustrasi guru.
Akumulasi berbagai persoalan yang dihadapi guru berdampak luas terhadap melemahnya kinerja guru. Guru melaksanakan tugas semata-mata sebagai rutinitas, tanpa disertai proses kreatif dan inovatif. Sudah bisa hadir di kelas pun di anggap cukup. Sekali-kali tidak masuk kelas dan hanya diwakili oleh tugas yang harus dikerjakan siswa, masih dianggapnya wajar. Pemberian evaluasi kepada siswa berjalan seadanya, manakala hasil ulangan jeblok pun, tidak perlu lagi usaha untuk meneliti kenapa terjadi kegagalan, apalagi berusaha mencari pengentasannya. Bahkan berdampak pula terhadap relasi antara guru dengan siswa yang terasa senjang. Guru tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan siswa, baik tentang kondisi fisik, kesehatan, kesulitan, kebutuhan, minat, perasaan, kemampuan maupun harapan-harapannya. Yang jelas, kalau ada siswa yang tidak hadir atau ngantuk di kelas tetap akan dianggap sebagai tindakan indisipliner yang perlu diberi sanksi.
Hubungan antara guru dan siswa yang humanis berjalan mandeg. Tidak terbangun lagi rasa saling asah, saling asih dan saling asuh. Oleh karenanya tidak aneh kalau banyak ditemukan siswa yang sama sekali tidak lagi memberikan rasa hormat terhadap gurunya sendiri. Karena keduanya sama-sama untuk mengambil sikap masa bodoh. Siswa lebih asyik mencari kompensasi dalam bentuk tawuran atau narkoba, dan tindakan kenakalan remaja lainnya, karena memang mereka sedang diliputi rasa frustasi yang mendalam akibat dari kegagalan dan tak terpenuhinya berbagai kebutuhan psikisnya. Harapan untuk menemukan jati diri, mendapatkan keterampilan, memperoleh pengetahuan dan membangun kehidupan sama sekali tidak didapatkannya. Fenomena yang mencerminkan carut marutnya wajah pendidikan kita dan keterpurukan guru semacam itu harus ditebus mahal dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia seperti sekarang ini, yang tentunya semua itu harus segera berakhir, jika kita semua ingin menjadi bangsa yang terhormat, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dulu maju.
Sejalan dengan hadirnya gerakan reformasi di tengah-tengan kehidupan kita, maka perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan sistem pendidikan harus dilakukan, termasuk di dalamnya usaha untuk menempatkan guru sebagai kunci utama keberhasilan pendidikan. Seyogyanya guru diberikan otonomi yang lebih luas dalam melaksanakan berbagai tugas, fungsi dan kewajibannya, sehingga tidak lagi harus terpaku pada pola-pola yang dibakukan, seperti berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menyebabkan kreativitas guru menjadi terpasung. Guru harus didorong berbuat lebih kreatif dan inovatif untuk menemukan sendiri berbagai metode dan cara baru yang paling sesuai dan tepat dalam proses pembelajaran, yang ditujukan demi keberhasilan para siswanya.
Begitu juga, bobot penilaian dan penghargaan kepada guru hendaknya ditekankan pada hal-hal lebih esensial dan subtansial yaitu sejauhmana guru dapat melaksanakan proses pembelajaran secara efektif dan sejauhmana guru dapat mengembangkan pola interaksi belajar yang kondusif. Jadi, bukan hanya sekedar dilihat dari segi kemampuan administratif semata.
Berbagai bentuk ganjalan yang berkaitan dengan kesejahteraan guru hanya bisa dilakukan melalui komitmen dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, untuk menempatkan guru sebagai profesi yang berhak mendapatkan penghargaan dan balas jasa yang layak. Pemberian tunjangan tidak dilakukan secara diskriminatif lagi, sehingga tidak terjadi lagi berbagai kesenjangan yang lebar, baik antara guru dengan guru itu sendiri, guru dengan dosen, maupun guru dengan profesi lainnya.
Berbagai bentuk pemerasan terhadap guru, dengan dalih apa pun tidak bisa dibenarkan lagi dan harus segera dihentikan. Birokrat yang masih bermental korup sudah waktunya untuk tidak diberi tempat lagi, karena bagaimana pun, guru saat ini sudah sanggup menunjukkan sikap kritis dan keberaniannya untuk mengambil sikap yang terbaik bagi dirinya.
Akhirnya, sejalan dengan upaya pemberdayaan guru, baik dari segi kinerja maupun kesejahteraannya, maka harapan untuk terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi menjadi kenyataan, yang pada gilirannya nanti akan terbentuk manusia-manusia yang sanggup menjadi pelopor pembangunan di daerahnya masing-masing, dengan memiliki dan wawasan sanggup berkiprah secara global.
Kesimpulan
1. Guru mempunyai peran yang signifikan dalam pembentukan Sumber Daya Manusia yang berkualitas sehingga mampu berkiprah secara global
2. Proses pendidikan berperan penting dalam menciptakan Sumber Daya Manusia yang berkualitas.
3. Guru harus didorong berbuat lebih kreatif dan inovatif untuk menemukan sendiri berbagai metode dan cara baru yang paling sesuai dan tepat dalam proses pembelajaran, yang ditujukan demi keberhasilan para siswanya.
4. Era globalisasi menuntut Sumber Daya Manusia yang berkualitas.
Itulah globalisasi, yang di dalamnya membawa berbagai implikasi yang luas dan kompleks bagi kehidupan manusia. Implikasi nyata dari adanya globalisasi adalah terjadinya perpacuan manusia yang mengglobal. Seorang individu dalam berkarya tidak hanya dituntut untuk mampu berkiprah dan berkompetisi sebatas tingkat lokal dan nasional semata, namun lebih jauh harus dapat menjangkau sampai pada tingkat kompetisi global, yang memang di dalamnya berisi sejumlah tantangan dan peluang yang begitu ketat.
Pada saat yang bersamaan, kita pun saat ini sedang dihadapkan dengan era otonomi daerah, yaitu sebuah paradigma baru dari sistem pemerintahan, yang semula bersifat otoriter-sentralistik menuju ke arah demokratik-desentralistik. Sebagai paradigma baru, tentunya akan mempunyai implikasi yang sangat luas pula terhadap tatanan kehidupan. Berbagai persoalan akan muncul, baik yang bersifat tantangan maupun hambatan. Dengan kewenangan yang luas, daerah seyogyanya lebih mampu untuk memberdayakan diri dan memacu partisipasi masyarakatnya dalam berbagai kegiatan pembangunan, sehingga pada gilirannya benar-benar akan dapat terwujud berbagai kemajuan yang signifikan.
Dari sini timbul pertanyaan, bagaimanakah agar kita benar-benar dapat survive dan eksis guna menghadapi kedua tantangan zaman tersebut. Tak lain jawabannya, kualitas sumber daya manusia ! Faktor kualitas sumber daya manusia menjadi amat penting karena hanya dengan sentuhan manusia-manusia yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, keterampilan yang handal dan sikap moral yang tinggi, maka berbagai persoalan yang muncul sebagai konsekwensi logis dari adanya era globalisasi dan era otononomi daerah sangat diyakini akan bisa terjawab. Oleh karena itu, gerakan usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia hendaknya menjadi komitmen seluruh komponen bangsa. Melalui usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat tercipta manusia-manusia yang dapat diandalkan untuk menjadi motor penggerak pembangunan di daerah. Sekaligus pula, dapat diandalkan untuk mampu berkiprah dalam percaturan global.
Pada kenyataaannya, memang harus diakui bahwa saat ini tingkat kualitas sumber daya manusia Indonesia sangat mengkhawatirkan, jangankan untuk bersaing pada tingkat global, untuk tingkat regional ASEAN saja, kita berada pada posisi di bawah Vietnam, yakni sebuah negara yang beberapa tahun lalu berkecamuk dilanda perang saudara. Namun, dengan dukungan political will yang kuat dari pemerintah setempat untuk mengkampanyekan pentingnya pendidikan, dengan mengangkat tema sentral posisi guru sebagai kunci utama keberhasilan peningkatan sumber daya manusia, maka dalam waktu yang relatif singkat, saat ini Vietnam telah berhasil mengangkat posisi kualitas sumber daya manusianya di atas kita.
Rasanya tak perlu malu, kalau kita belajar menimba pengalaman dari keberhasilan Vietnam dalam membangun sumber daya manusianya, yakni dengan berusaha menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan, dengan tema sentral yang sama yakni guru sebagai kunci utama keberhasilan peningkatan sumber daya manusia. Memang, berdasarkan hasil studi di negara-negara berkembang telah membuktikan bahwa guru memberikan kontribusi tertinggi dalam pencapaian prestasi belajar (36%), kemudian disusul manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%), sebagaimana disampaikan oleh Dirjen Dikdasmen pada acara Dies Natalis XVI Universitas Terbuka.
Suka atau tidak suka, memang harus diakui bahwa semasa rezim orde baru yang otoriter dan sentralistik itu telah menempatkan profesi guru berada pada posisi yang termarjinalkan dari keseluruhan sistem pembangunan. Akibatnya, dalam pengelolaan dan pengembangan proses pembelajaran seringkali guru menjadi miskin kreativitas, karena selalu dicekoki oleh berbagai aturan yang sangat mengikat dan kaku. Kebebasan mengaktulisasikan diri untuk menjadi seorang profesional terhambat dan guru hanya berperan sebagai tenaga juru belaka, yang bertugas menyampaikan apa yang telah disajikan dari pusat dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada tahap evaluasi sekali pun.
Terlebih lagi dengan adanya kewajiban untuk memenuhi target-target materi kurikulum tertentu yang seringkali menimbulkan rasa stress, baik guru maupun siswa. Demi mengejar target materi, seringkali terjadi pemaksaan penjejalan materi kepada siswa. Mengerti atau tidak mengerti apa yang telah disampaikan guru, menjadi urusan belakangan.
Beban lain yang harus ditanggung guru yaitu menyangkut kewajiban membuat berbagai perangkat administrasi yang sudah terpolakan secara baku dan bermacam-macam jenisnya. Bahkan ada persepsi bahwa guru yang baik adalah yang memiliki administrasi lengkap. Dari sini timbul sikap pragmatis, yang penting administrasi bagus, meskipun pada kenyataannya, antara yang tertulis dalam administrasi dengan pelaksanaan, sesungguhnya sangat bertolak belakang.
Hal yang mendasar dan menjadi persoalan utama guru adalah menyangkut kesejahteraannya. Tunjangan fungsional yang diskriminatif dibandingkan dengan profesi lain telah menimbulkan rasa cemburu di kalangan guru. Selain itu, berbagai kasus pemotongan gaji untuk kepentingan yang tidak masuk akal seringkali terjadi. Begitu juga, prosedur kenaikan pangkat yang berbelit-belit dan selalu berakhir dengan pungutan-pungutan yang tidak jelas juntrungnya, kiranya semakin melengkapi rasa frustrasi guru.
Akumulasi berbagai persoalan yang dihadapi guru berdampak luas terhadap melemahnya kinerja guru. Guru melaksanakan tugas semata-mata sebagai rutinitas, tanpa disertai proses kreatif dan inovatif. Sudah bisa hadir di kelas pun di anggap cukup. Sekali-kali tidak masuk kelas dan hanya diwakili oleh tugas yang harus dikerjakan siswa, masih dianggapnya wajar. Pemberian evaluasi kepada siswa berjalan seadanya, manakala hasil ulangan jeblok pun, tidak perlu lagi usaha untuk meneliti kenapa terjadi kegagalan, apalagi berusaha mencari pengentasannya. Bahkan berdampak pula terhadap relasi antara guru dengan siswa yang terasa senjang. Guru tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan siswa, baik tentang kondisi fisik, kesehatan, kesulitan, kebutuhan, minat, perasaan, kemampuan maupun harapan-harapannya. Yang jelas, kalau ada siswa yang tidak hadir atau ngantuk di kelas tetap akan dianggap sebagai tindakan indisipliner yang perlu diberi sanksi.
Hubungan antara guru dan siswa yang humanis berjalan mandeg. Tidak terbangun lagi rasa saling asah, saling asih dan saling asuh. Oleh karenanya tidak aneh kalau banyak ditemukan siswa yang sama sekali tidak lagi memberikan rasa hormat terhadap gurunya sendiri. Karena keduanya sama-sama untuk mengambil sikap masa bodoh. Siswa lebih asyik mencari kompensasi dalam bentuk tawuran atau narkoba, dan tindakan kenakalan remaja lainnya, karena memang mereka sedang diliputi rasa frustasi yang mendalam akibat dari kegagalan dan tak terpenuhinya berbagai kebutuhan psikisnya. Harapan untuk menemukan jati diri, mendapatkan keterampilan, memperoleh pengetahuan dan membangun kehidupan sama sekali tidak didapatkannya. Fenomena yang mencerminkan carut marutnya wajah pendidikan kita dan keterpurukan guru semacam itu harus ditebus mahal dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia seperti sekarang ini, yang tentunya semua itu harus segera berakhir, jika kita semua ingin menjadi bangsa yang terhormat, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dulu maju.
Sejalan dengan hadirnya gerakan reformasi di tengah-tengan kehidupan kita, maka perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan sistem pendidikan harus dilakukan, termasuk di dalamnya usaha untuk menempatkan guru sebagai kunci utama keberhasilan pendidikan. Seyogyanya guru diberikan otonomi yang lebih luas dalam melaksanakan berbagai tugas, fungsi dan kewajibannya, sehingga tidak lagi harus terpaku pada pola-pola yang dibakukan, seperti berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menyebabkan kreativitas guru menjadi terpasung. Guru harus didorong berbuat lebih kreatif dan inovatif untuk menemukan sendiri berbagai metode dan cara baru yang paling sesuai dan tepat dalam proses pembelajaran, yang ditujukan demi keberhasilan para siswanya.
Begitu juga, bobot penilaian dan penghargaan kepada guru hendaknya ditekankan pada hal-hal lebih esensial dan subtansial yaitu sejauhmana guru dapat melaksanakan proses pembelajaran secara efektif dan sejauhmana guru dapat mengembangkan pola interaksi belajar yang kondusif. Jadi, bukan hanya sekedar dilihat dari segi kemampuan administratif semata.
Berbagai bentuk ganjalan yang berkaitan dengan kesejahteraan guru hanya bisa dilakukan melalui komitmen dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, untuk menempatkan guru sebagai profesi yang berhak mendapatkan penghargaan dan balas jasa yang layak. Pemberian tunjangan tidak dilakukan secara diskriminatif lagi, sehingga tidak terjadi lagi berbagai kesenjangan yang lebar, baik antara guru dengan guru itu sendiri, guru dengan dosen, maupun guru dengan profesi lainnya.
Berbagai bentuk pemerasan terhadap guru, dengan dalih apa pun tidak bisa dibenarkan lagi dan harus segera dihentikan. Birokrat yang masih bermental korup sudah waktunya untuk tidak diberi tempat lagi, karena bagaimana pun, guru saat ini sudah sanggup menunjukkan sikap kritis dan keberaniannya untuk mengambil sikap yang terbaik bagi dirinya.
Akhirnya, sejalan dengan upaya pemberdayaan guru, baik dari segi kinerja maupun kesejahteraannya, maka harapan untuk terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi menjadi kenyataan, yang pada gilirannya nanti akan terbentuk manusia-manusia yang sanggup menjadi pelopor pembangunan di daerahnya masing-masing, dengan memiliki dan wawasan sanggup berkiprah secara global.
Kesimpulan
1. Guru mempunyai peran yang signifikan dalam pembentukan Sumber Daya Manusia yang berkualitas sehingga mampu berkiprah secara global
2. Proses pendidikan berperan penting dalam menciptakan Sumber Daya Manusia yang berkualitas.
3. Guru harus didorong berbuat lebih kreatif dan inovatif untuk menemukan sendiri berbagai metode dan cara baru yang paling sesuai dan tepat dalam proses pembelajaran, yang ditujukan demi keberhasilan para siswanya.
4. Era globalisasi menuntut Sumber Daya Manusia yang berkualitas.
Senin, 14 Juni 2010
Rabu, 02 Juni 2010
PROFESIONALISME GURU
A. Latar Belakang
Definisi yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari adalah bahwa guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam hal orang yang memiliki kharisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan diteladani. Mengutip pendapat Laurence D. Hazkew dan Jonathan C. Mc Lendon dalam bukunya This is Teaching (hal :10) “Teacher is professional person who conducs classes” (Guru adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dalam menata dan mengelola kelas). Sedangkan menurut Jean D. Grambs dan C. Morris Mc Clare dalam Fondation of teaching, An Introduction to Modern Education (hal :141), “teacher are those person who consciously direct the experiences and behaviour of an individual so that education take place”. (Guru adalah mereka yang secara sadar mengarahkan pengalaman dan tingkah laku dari seorang individu hingga dapat terjadi pendidikan).
Jadi guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserrta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merangsang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan.
Sedangkan dalam kegiatan proses pembelajaran tersebut, agar tujuan yang diharapakn dapat tercapai secara maksima maka guru juga harus memiliki kompetensi dalam mengajar. Kompetensi adalah kekuatan mental dan fisik untuk melakukan tugas atau ketrampilan yang dipelajari melalui latihan dan praktik (JJ. Litrell :310).
Kompetensi guru adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran dan pendidikan disekolah, namun kompetensi guru tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi latar belakang pendidikan, pengalaman mengajar, dan lamanya mengajar. Kompetensi guru dapat dinilai penting sebagai alat seleksi dalam penerimaan calon guru, juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam rangka pembinaan dan pengembangan tenaga guru. Selain itu, penting dalam hubungannya kegiatan belajar mengajar dan hasil belajar siswa. Dengan kompetensi profesional tersebut, dapat diduga berpengaruh pada proses pengelolaan pendidikan sehingga mampu melahirkan keluaran pendidikan yang bermutu. Keluaran pendidikan yang bermutu dapat dilihat dari hasil langsung pendidikan yang berupa nilai yang dicapai siswa dan dapat juga dilihat dari dampak pengiring, yaitu peserta didik setela di masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Banyaknya guru sebagai tenaga pendidik kurang profesional dan kompeten dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga mempengaruhi mutu keluaran peserta didik dan kurang optimalnya pencapaian tujuan pendidikan.
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui tugas dan tanggung sebagai guru, prinsip-prinsip yang dimiliki oleh seorang guru sehingga guru sebagai pendidik sehingga dapat lebih profesional dan kompeten dalam menjalankan profesinya, untuk dapat melahirkan keluaran pendidikan yang bermutu.
D. Hakikat Profesi Dan Kompetensi Guru
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Walaupun pada kenyataanya masih terdapat hal-hal tersebut diluar bidang kependidikan. Untuk seorang guru perlu mengetahui dan dapatmenerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara professional, yaitu sebagai berikut (Dr. H. Hamzah : 16) :
1. Guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat mengggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi.
2. Guru harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berfikir serta mencari dan menemukan sendiri pengetahuan.
3. Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pelajaran dan penyesuaian dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik.
4. Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi), agar peserta didik menjadi lebih mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya.
5. Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas.
6. Guru wajib memerhatikan dan memikirkan korelasi antara mata pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
7. Guru harus terus menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya.
8. Guru harus dapat mengempangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan sosial, baik di dalam kelas maupun diluar kelas.
9. Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaan tersebut.
Guru dapat melaksanakan evaluasi yang efektif serta menggunakan hasilnya untuk mengetahui prestasi dan kemajuan siswa seta dapat melakukan perbaikan dan pengembangan.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat, guru tidak hanya bertindak sebagai penyaji informasi tetapi juga harus mampu bertindak sebagai fasilitator, motivator dan pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari dan mengelola sendiri informasi. Dengan demikian keahlian guru harus terus dikembangkan dan tidak hanya terbatas pada penguasaan prinsip mengajar seperti telah diuraikan.
Kompetensi guru pada hakikatnya tidak bisa lepas dari konsep hakikat guru dan hakekat tugas guru (Spencer 1993:7). Kompetensi guru mencerminkan tugas dan kewajiban guru yang harus dilakukan sehubungan dengan arti jabatan guru yang menuntut suatu kompetensi tertentu sebagaimana telah disebutkan. Ace Suryadi (1999:298-304) mengemukakan bahwa untuk mencapai taraf kompetensi seorang guru memerlukan waktu lama dan biaya mahal. Ststus kompetensi yang profesional tidak diberikan oleh siapapun, tetapi harus dicapai kelompok profesi bersangkutan. Awalnya tentu harus dibina melalui penguatan landasan profesi, misalnya pembinaan tenaga kependidikan yang sesuai, pengembangan infrastruktur, pelatihan jabatan (in service training) yang memadai, efisiensi dalam sistem perencanaan, serta pembinaan administrasi dan pembinaan kepegawaian.
E. Profesionalisme Guru Sebagai Sebuah Tuntutan
Tidak dapat disangkal lagi bahwa profesionalisme guru merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, seiring dengan semakin meningkatnya persaingan yang semakin ketat dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Diperlukan orang-orang yang memang benar benar-benar ahli di bidangnya, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya agar setiap orang dapat berperan secara maksimal, termasuk guru sebagai sebuah profesi yang menuntut kecakapan dan keahlian tersendiri. Profesionalisme tidak hanya karena faktor tuntutan dari perkembangan jaman, tetapi pada dasarnya juga merupakan suatu keharusan bagi setiap individu dalam kerangka perbaikan kualitas hidup manusia. Profesionalisme menuntut keseriusan dan kompetensi yang memadai, sehingga seseorang dianggap layak untuk melaksanakan sebuah tugas. Ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan dalam upaya, meningkatkan profesionalisme guru, yaitu :
a. Sertifikasi sebagai sebuah sarana
Salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui sertifikasi sebagai sebuah proses ilmiah yang memerlukan pertanggung jawaban moral dan akademis. Dalam issu sertifikasi tercermin adanya suatu uji kelayakan dan kepatutan yang harus dijalani seseorang, terhadap kriteria-kriteria yang secara ideal telah ditetapkan. Sertifikasi bagi para Guru dan Dosen merupakan amanah dari UU Sistem Pendidikan Nasional kita (pasal 42) yang mewajibkan setiap tenaga pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar yang dimilikinya. Singkatnya adalah, sertifikasi dibutuhkan untuk mempertegas standar kompetensi yang harus dimiliki para guru dan dosen sesui dengan bidang ke ilmuannya masing-masing.
a) Perlunya perubahan paradigma
Faktor lain yang harus dilakukan dalam mencapai profesionalisme guru adalah, perlunya perubahan paradigma dalam proses belajar menajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekedar sebagai obyek pembelajaran tetapi harus berperan dan diperankan sebagai subyek. Sang guru tidak lagi sebagai instruktur yang harus memposisikan dirinya lebih tingi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau konsultator yang bersifat saling melengkapi. Dalam konteks ini, guru dituntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian proses belajar mengajar akan dilihat sebagai proses pembebasan dan pemberdayaan, sehingga tidak terpaku pada aspek-aspek yang bersifat formal, ideal maupun verbal. Penyelesaian masalah yang aktual berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah harus menjadi orientasi dalam proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, out-put dari pendidikan tidak hanya sekedar mencapai IQ (intelegensia Quotes), tetapi mencakup pula EQ (Emotional Quotes) dan SQ (Spiritual Quotes).
b) Jenjang karir yang jelas
Salah satu faktor yang dapat merangsang profesionalisme guru adalah, jenjang karir yang jelas. Dengan adanya jenjang karir yang jelas akan melahirkan kompetisi yang sehat, terukur dan terbuka, sehingga memacu setiap individu untuk berkarya dan berbuat lebih baik.
c) Peningkatan kesejahteraan yang nyata
Kesejahteraan merupakan issu yang utama dalam konteks peran dan fungsi guru sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Paradigma professional tidak akan tercapai apabila individu yang bersangkutan, tidak pernah dapat memfokuskan diri pada satu hal yang menjadi tanggungjawab dan tugas pokok dari yang bersangkutan. Oleh sebab itu, untuk mencapai profesionalisme, jaminan kesejahteraan bagi para guru merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan dan dipisahkan. (Angelina Sondakh)
F. Guru Sebagai Contoh (Suri Teladan)
Pada dasrnya perubahan perilaku yang dapat ditunjukkan oleh peserta didik harus dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki ole seorang guru. Atau dengan perkataan lain guru mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku peserta didik.
Untuk itulah guru harus menjadi contoh (suri teladan) bagi peserta didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan, yang dapat digugu dan ditiru.
Seorang guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukkan oleh peserta didiknya. Untuk itu apabila seseorang ingin menjadi guru yang profesional maka sudah seharusny ia dapat selalu meningkatkan wawasan pengetahuan akademis dan praktis melalui jalur pendidikan berjenjang ataupun upgrading dan/atau pelatihan yng bersifat in service training dengan rekan-rekan sejawatnya.
Perubahan dalam cara mengajar guru dapat dilatihkan melalui kemampuan peningkatan mengajar sehingga kebiasaan lama yang kurang efektif dapat segera terdeteksi dan perlahan-lahan dihilangkan. Untuk itu, maka perlu perubahan kebiasaan dalam cara mengajar guru yang diharapkan akan berpengaruh pada cara bel;ajar siswa, diantaranya sebagi berikut (Dr. H. Hamzah : 17) :
a. Memperkecil kebiasaan cara mengajar guru baru (calon guru) yang cepat merasa puas dalam mengajar apabila banyak menyajikan informasi (ceramah) dan terlalu mendominasi kegiatan belajar peserta didik.
b. Guru hendakny berperan sebagai pengarah, pembimbing, pemberi kemudahan dengan menyediakan berbagai fasilitas belajar, pemberi bantuan bagi peserta yang mendapat kesulitan belajar, dan pencipta kondisi yang merangsang dan menantang peserta untuk berpikir dan bekerja (melakukan).
c. Mengubah dari berbagai metode ceramah dengan berbagai variasi metode yang lebih relevan dengan metode tujuan pembelajaran, memperkecil kebiasaan cara belajar peserta yang baru merasa belajar dan puas kalau banyak mendengarkan dan menerima informasi (diceramahi) guru, atau baru belajar kalau ada guru.
d. Guru hendaknya mampu menyiapkan berbagai jenis sumber belajar sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri dan berkelompok,percaya diri, terbuka untuk saling memberi dan menerima pendapat orang lain, serta membina kebiasaan mencari dan mengolah sendiri informasi.
G. Kompetensi Dan Tugas Guru
Kompetensi profesional guru adalah merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar (Kariman,2002). Pada umumnya disekolah-sekolah yang memiliki guru dengan kompetensi profesional akan menerapkan “pembelajaran dengan melakukan” untuk menggantikan cara mengajar dimana guru hanya berbicara dan peserta didik hanya mendengarkan.
Kompetensi guru berkaitan dengan profesionalisme yaitu, guru yang profesional adlah guru yang kompeten (berkemampuan), karena itu kompetensi profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya dengan kemampuan tinggi (Muhibbin Syah: 230). Dengan kata lain kompetensi adalah pemilikan, penguasaan, ketrampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang. (A.Piet Sahertian :4)
Sedangkan menurut Depdikbud kompetensi yang harus dimiliki seorang guru (Komponen Dasar Kependidikan :25-26 ) adalah :
1. Kompetensi Profesional, guru harus memiliki pengetahuan yang luas dari subject matter ( bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi dalam arti memiliki konsep teoritis mampu memilih metode dalam proses belajar mengajar.
2. Kompetensi Personal, artinya sikap kepribadian yang mantap sehingga mampu menjadi sumbr intensifikasi bagi subjek. Dalam hal ini berarti memiliki kepribadian yang pantas diteladani, mampu melaksanakan kepemimpinan seperti yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara, yaitu “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa. Tut Wuri Handayani”
3. Kompetensi Sosial, artinya guru harus mampu menunjukkan dan berinteraksi sosial, baik dengan murid-muridnya maupun dengan sesama guru dan kepala sekolah, bahkan dengan masyarakat luas.
4. Kompetensi untuk melakukan pelajaran yang sebaik-baiknya yang berarti mengutamakan nilai-nilai sosial dari nilai material.
Dalam suasana seperti itu, peserta didik dilibatkan secara aktif dalam memecahkan masalah, mencari sumber informasi, data evaluasi, serta menyajikan dan mempertahankan pandangan dan hasil kerja mereka kepada teman sejawat dan yang lainnya. Sedangkan para guru dapat bekerja secara intensif dengan guru lainnya, dalam merencanakan pembelajaran baik individual maupun tim, membuat keputusan tentang mendesai sekolah kolaborasi tentang pengembangan kurikulum, dan partisipasi dalam penilaian. Berikut akan diuraikan tentang kompetensi profesional yang harus menjadi andalan guru dalam melaksanakan tugasnya.
H. Peranan Guru Dalam Pembelajaran Tatap Muka
Terdapat beberapa peran guru dalam pembelajaran tatap muka yang dikemukakan oleh Moon (1998), yaitu sebagai berikut.
1. Guru sebagai Perancang Pembelajaran (Designer Instruction)
Pihak Departemen Pendidikan Nasional telah memprogram bahan pembelajaran yang harus diberikan guru kepada peserta didik pada suatu waktu tertentu. Disini guru dituntut untuk berperan aktif dalam merencanakan PBM tersebut dengan memerhatikan berbagai komponen dalam sistem pembelajaran yang meliputi :
a. Membuat dan merumuskan bahan ajar
b. Menyiapkan materi yang relevan dengan tujuan, waktu, fasilitas, perkembangan ilmu, kebutuhan dan kemampuan siswa, komprehensif, sistematis, dan fungsional efektif.
c. Merancang metode yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa.
d. Menyediakan sumbeer belajar, dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator dalam pengajaran.
e. Media, dalam hal ini guru berperan sebagai mediator dengan memerhatikan relevansi (seperti juga materi), efektif, efisien, kesesuaian dengan metode, serta pertimbangan praktis.
Jadi dengan waktu yang sedikit atau terbatas tersebut, guru dapat merancang dan mempersiapkan semua komponen agar berjalan dengan efektif dan efisien. Untuk itu guru harus memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang prinsip-prinsip belajar, sebagai landasan dari perencanaan.
2. Guru sebagai Pengelola Pembelajaran (Manager Instruction)
Tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan menggunakan fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar mengajar. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasi yang diharapkan.
Selain itu guru juga berperan dalam membimbing pengalaman sehari-hari ke arah pengenalan tingkah laku dan kepribadianny sendiri. Salah satu ciri manajemen kelas yang baik adalah tersedianya kesempatan bagi siswa untuk sedikit demi sedikit untuk mengurangi ketergantunganny pada guru hingga mereka mampu membimbing kegiatannya sendiri.
Sebagai manajer, guru hendaknya mampu mempergunakan pengetahuan tentang teori belajar mengajar dari teori perkembangan hingga memungkinkan untuk menciptakn situasi belajar yang baik mengendalikan pelaksanaan pengajaran dan pencapaian tujuan.
3. Guru sebagai Pengaruh Pembelajaran
Hendaknya guru senantiasa berusaha menimbulkan, memelihara, dan meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar. Dalam hubungan ini guru mempunyai fungsi sebagai motivator dalam keseluruhan kegiatan belajar mengajar. Empat hal yang dapat dikerjakan guru dalam memberikan motivasi adalah sebagai berikut (Dr Hamzah B.Uno :23), (1)membangkitkan dorongan siswa untuk belajar (2) menjelaskan secara konkret, apa yang dapat dilakukan pada akhir pengjaran (3) memberikan ganjaran terhadap prestasi yang dicapai hingga dapat merangsang pencapaian prestasi yang lebih baik dikemudian hari (4) membentuk kebiasaan belajar yang baik.
4. Guru sebagai Evaluator (Evaluator of Student Learning)
Tujuan utama penilaian adalah adalah untuk melihat tingkat keberhasilan,efektifitas dan efisiensi dalam proses pembelajaran. Selain itu untuk mengetahui untuk mengetahui kedudukan peserta dalam kelas atau kelompoknya . Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar peseta didik guru hendaknyasecra terus-menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai peserta didik dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini akan menjadi umpan balik terhadap proses pembelajaran. Umpan balik akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran selanjutnya. Dengan demikian proses pembelajaran akan terus menerus ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal
5. Guru sebagai Konselor
Sesuai dengan peran guru sebagai konselor adalah ia diharapkan akan dapat merespon segala masalah tingkah laku yang terjadi dalam proses pembelajaran, Oleh karena itu, guru harus dipersiapkan agar :(1)dapat menolong peserta didik memecahkan masalah-masalah yang timbul antara peserta didik dengan orang tuanya, (2) bisa memperoleh keahlian dalam membina hubungan yng manusiawi dan dapat mempersiapkan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan bermacam-macam manusia. Pada akhirnya, guru akan memerlukan pengertian tentang dirinya sendiri, baik itu motivasi, harapan, prasangka ataupun keinginannya. Semua hal itu akan memberikan pengaruh pada kemampuan guru dalam berhubungan dengan orang lain terutama siswa.
6. Guru sebagai Pelaksana Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat pengalaman belajar yang akan didapat oleh peserta didik selama ia mengikuti suatu proses pendidikan. Secara resmi kurikulum sebenarnya merupakan sesuatu yang diidealisasikan atau dicita-citakan (Ali,1985:30). Keberhasilan dari suatu kurikulum yang ingin dicapai sangat bergantung pada faktor kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru. Artinya guru adalah orang yang bertanggung jawab dalam mewujudkan segala sesuatu yang telah tertuang dalam suatu kurikulum resmi. Bahkan pandangan mutakhir menyatakan bahwa meskipun suatu kurikulum itu bagus, namun berhasil atau gagalnya kurikulum tersebut pada akhirnya terletak di tangan pribadi guru.
Sedangkan peranan guru dalam pembinaan dan pengembangan kurikulum secara aktif (Dr.H.Hamzah B.Uno :26) antara lain yaitu : (1)perencanaan kurukulum (2)pelaksanaan di lapangan (3) proses penilaian (4)pengadministrasian (5) perubahan kurikulum
7. Guru dalam Pembelajaran yang Menerapkan Kurikulum Berbasis Lingkungan
Peranan guru dalam kurikulum berbasis lingkungan tidak kalah aktifnya dengan peserta didik. Sehubungan dengan tugas guru untuk mengaktifkan peserta didik dalam belajar, maka seorang guru dituntut untuk memiliki pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang memadai. Pengetahuan, sikap, dan ketramoilan yang dituntut dari guru dalam proses pembelajaran yang memiliki kadar pembelajaran tinggi dadasarkan atas posisi dan peranan guru, tugas dan tanggung jawab sebagai pengajar yang profesional.
Posisi dan peran guru yang dikaitkan dengan konsep pendidikan berbasis lingkungan dalam proses pembelajaran (Dr. H. Hamzah.B.Uno 2007:27) , dimana guru harus menempatkan diri sebagai :
a. Pemimpin belajar, dalam arti guru sebagai perencana, pengorganisasi pelaksana, dan pengontrol kegiatan belajar peserta didik.
b. Fasilitator belajar, guru sebagai pemberi kemudahan kepada peserta didik dalam melakukan kegiatan belajarnya melalui upaya dalam berbagai bentuk.
c. Moderator belajar, guru sebgai pengatur arus kegiatan belajar peserta didik,. Selain itu guru bersama peserta didik harus menarik kesimpulan atau jawaban masalah sebagai hasil belajar peserta didik,atas dasar semua pendapat yang telah dibahas dan diajukan peserta didik.
d. Motivator belajar, guru sebagai pendorong peserta didik agar mau melakukan kegiatan belajar. Sebagai motivator guru harus dapat menciptakan kondisi kelas yang merangsang peserta untuk mau melakukan kegiatan belajar, baik individual maupun kelompok.
e. Evaluator belajar, guru sebagai penilai yang objektif dan komprehensif. Sebagai evaluator guru berkewajiban mengawasi, memantau proses pembelajaran peserta didik dan hasil belajar yang dicapainya. Guru juga berkewajiban melakukan upaya perbaikan proses belajar peserta didik, menunjukkan kelemahan dan cara memperbaikinya, baik secara individual, kelompok, maupun secara klasikal.
8. Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Proses pembelajaran yang bernafaskan lingkungan lebih menekankan pada pentingnya proses belajar peserta daripada hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik. Karena itu proses pembelajaran peserta didik merupakan tugas dan tanggung jawab guru. Ada beberapa kemampuan yang dituntut dari guru agar dapat menumbuhkan minat dalam proses pembelajaran (Sudjana dan Arifin, 1989: 31-39), yaitu sebagai berikut :
a. Mampu menjabarkan berbagai bentuk pembelajaran ke dalam berbagai bentuk cara penyampaian.
b. Mampu merumuskan tujuan pembelajaran kognitif tingkat tinggi, seperti analisis, sintesis, dan evaluasi. Melalui tujuan tersebut maka kegiatan belajar peserta didik akan lebih aktif dan komprehensif.
c. Menguasai berbagai cara belajar yang efektif sesuai dengan tipe dan gaya belajar yang dimiliki oleh peserta didik secara individual.
d. Memiliki sifat yang positif terhadap tugas profesinya, mata pelajaran yang dibinanya sehingga selalu berupaya untuk meningkatkan kemampuan dan melaksanakn tugasnya sebagaiguru.
e. Terampil dalam membuat alat peraga pembelajaransederhana sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan mata pelajaran yang dibinanya serta penggunaannya dalam proses pembelajaran.
f. Terampil dalam menggunakan berbagai model dan metode pembelajaran yang dapat menumbuhkan minat sehingga diperoleh hasil belajar yang optimal.
g. Terampil dalam melakukan interaksi dengan peserta didik, dengan mempertimbangkan tujuan dan materi pelajaran, kondisi pesertadidik, suasana belajar, jumlah peserta didik, waktu yang tersedia, dan faktor yang berkenaan dengan diri guru itu sendiri.
h. Memahami sifat dan karakteristi peserta didik, terutama kemampuan belajarnya, cara dan kebiasaan belajar, minta terhadap pelajaran, motivasi untuk belajar, dan hasil belajar yang telah dicapai.
i. Terampil dalammenggunakan sumber-sumber belajar yang ada sebagai bahan ataupun media belajar bagi peserta didik dalam proses pembelajaran.
j. Terampil dalam mengelola kelas atau memimpin peserta didik dalam belajar sehingga suasana belajar menjadi menarik dan menyenangkan
9. Syarat Guru yang Baik dan Berhasil
Tidak sembarang orang dapat melaksanakan tugas profesional sebagai seorang guru. Untuk menjadi guru yang baik haruslah memnuhi syarat yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Ngalim Purwanto,1985:170-175). Syarat utam untuk menjadi seorang guru, selain berijazah dan syarat-syarat mengenai kesehatan jasmani dan rohani, ialah mempunyai sifat-sifat yang perlu untuk dapat memberikan pendidikan dan pembelajaran. Selanjutnya, dari syarat-syarat tersebut dapat dijabarkan secara lebih terperinci, yaitu sebagai berikut :
a. Guru harus berijazah
Yang dimaksud ijazah disini adalah ijazah yang dapat memberi wewenang untuk menjalankan tugas sebagai seorang guru di suatu sekolah tertentu.
b. Guru harus sehat Rohani dan Jasmani
Kesehatan rohani dan jasmani merupakan salah satu syarat penting dalam setiap pekerjaan. Karena orang tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika ia diserang suatu penyakit. Sebagai seorang guru syarat tersebut merupakan syaarat mutlak yang tidak dapat diabaikan. Misalnya saja seorang guru yang sedang terkena penyakit menular tentu saja akan membahayakan bagi peserta didiknya.
c. Guru harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkelakuan baik
Sesuai dengan tujuan pendidikan, yaitu membentuk manusia yang susila yang bertaqwa kepada Tuhan YME maka sudah selayaknya guru sebagai pendidik harus dapat menjadi contoh dalam melaksanakan ibadah dan berkelakuan baik.
d. Guru haruslah orang yang bertanggung jawab
Tugas dan tanggung jawab guru sebagai seorang pendidik, pembelajar dan pembimbing bagi peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung yang telah dipercayakan orang tua/wali kepadanya hendaknya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Selain itu guru juga bertanggung jawab terhadap perilaku masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
e. Guru di Indonesia harus berjiwa nasional
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang mempunyai bahasa dan adat istiadat berlainan. Untuk menanamkan jiwa kebangsaan merupakan tugas utama seorang guru, karena itulah guru harus terlebih dahulu berjiwa nasional.
Syarat-syarat di atas adalah syarat umum yang berhubungan dengan jabatan sebagai guru. Selain itu ada syarat lain yang sangat erat hubungannya dengan tugas guru disekolah antara lain (DR. H. Hamzah.B.Uno 2007:30) (1) harus adil dan dapat dipercaya (2) sabar, rela berkorban, dan menyayangi peserta didiknya (3) memiliki kewibawaan dan tanggung jawab akademis, (4) harus memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan menguasai benar mata pelajaran yang dibinanya, (5) harus selalu instropeksi diri dan siap menerima kritik dari siapapun, (6) harus berupaya meningkatkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Definisi yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari adalah bahwa guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam hal orang yang memiliki kharisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan diteladani. Mengutip pendapat Laurence D. Hazkew dan Jonathan C. Mc Lendon dalam bukunya This is Teaching (hal :10) “Teacher is professional person who conducs classes” (Guru adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dalam menata dan mengelola kelas). Sedangkan menurut Jean D. Grambs dan C. Morris Mc Clare dalam Fondation of teaching, An Introduction to Modern Education (hal :141), “teacher are those person who consciously direct the experiences and behaviour of an individual so that education take place”. (Guru adalah mereka yang secara sadar mengarahkan pengalaman dan tingkah laku dari seorang individu hingga dapat terjadi pendidikan).
Jadi guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserrta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merangsang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan.
Sedangkan dalam kegiatan proses pembelajaran tersebut, agar tujuan yang diharapakn dapat tercapai secara maksima maka guru juga harus memiliki kompetensi dalam mengajar. Kompetensi adalah kekuatan mental dan fisik untuk melakukan tugas atau ketrampilan yang dipelajari melalui latihan dan praktik (JJ. Litrell :310).
Kompetensi guru adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran dan pendidikan disekolah, namun kompetensi guru tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi latar belakang pendidikan, pengalaman mengajar, dan lamanya mengajar. Kompetensi guru dapat dinilai penting sebagai alat seleksi dalam penerimaan calon guru, juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam rangka pembinaan dan pengembangan tenaga guru. Selain itu, penting dalam hubungannya kegiatan belajar mengajar dan hasil belajar siswa. Dengan kompetensi profesional tersebut, dapat diduga berpengaruh pada proses pengelolaan pendidikan sehingga mampu melahirkan keluaran pendidikan yang bermutu. Keluaran pendidikan yang bermutu dapat dilihat dari hasil langsung pendidikan yang berupa nilai yang dicapai siswa dan dapat juga dilihat dari dampak pengiring, yaitu peserta didik setela di masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Banyaknya guru sebagai tenaga pendidik kurang profesional dan kompeten dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga mempengaruhi mutu keluaran peserta didik dan kurang optimalnya pencapaian tujuan pendidikan.
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui tugas dan tanggung sebagai guru, prinsip-prinsip yang dimiliki oleh seorang guru sehingga guru sebagai pendidik sehingga dapat lebih profesional dan kompeten dalam menjalankan profesinya, untuk dapat melahirkan keluaran pendidikan yang bermutu.
D. Hakikat Profesi Dan Kompetensi Guru
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Walaupun pada kenyataanya masih terdapat hal-hal tersebut diluar bidang kependidikan. Untuk seorang guru perlu mengetahui dan dapatmenerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara professional, yaitu sebagai berikut (Dr. H. Hamzah : 16) :
1. Guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat mengggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi.
2. Guru harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berfikir serta mencari dan menemukan sendiri pengetahuan.
3. Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pelajaran dan penyesuaian dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik.
4. Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi), agar peserta didik menjadi lebih mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya.
5. Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas.
6. Guru wajib memerhatikan dan memikirkan korelasi antara mata pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
7. Guru harus terus menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya.
8. Guru harus dapat mengempangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan sosial, baik di dalam kelas maupun diluar kelas.
9. Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaan tersebut.
Guru dapat melaksanakan evaluasi yang efektif serta menggunakan hasilnya untuk mengetahui prestasi dan kemajuan siswa seta dapat melakukan perbaikan dan pengembangan.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat, guru tidak hanya bertindak sebagai penyaji informasi tetapi juga harus mampu bertindak sebagai fasilitator, motivator dan pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari dan mengelola sendiri informasi. Dengan demikian keahlian guru harus terus dikembangkan dan tidak hanya terbatas pada penguasaan prinsip mengajar seperti telah diuraikan.
Kompetensi guru pada hakikatnya tidak bisa lepas dari konsep hakikat guru dan hakekat tugas guru (Spencer 1993:7). Kompetensi guru mencerminkan tugas dan kewajiban guru yang harus dilakukan sehubungan dengan arti jabatan guru yang menuntut suatu kompetensi tertentu sebagaimana telah disebutkan. Ace Suryadi (1999:298-304) mengemukakan bahwa untuk mencapai taraf kompetensi seorang guru memerlukan waktu lama dan biaya mahal. Ststus kompetensi yang profesional tidak diberikan oleh siapapun, tetapi harus dicapai kelompok profesi bersangkutan. Awalnya tentu harus dibina melalui penguatan landasan profesi, misalnya pembinaan tenaga kependidikan yang sesuai, pengembangan infrastruktur, pelatihan jabatan (in service training) yang memadai, efisiensi dalam sistem perencanaan, serta pembinaan administrasi dan pembinaan kepegawaian.
E. Profesionalisme Guru Sebagai Sebuah Tuntutan
Tidak dapat disangkal lagi bahwa profesionalisme guru merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, seiring dengan semakin meningkatnya persaingan yang semakin ketat dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Diperlukan orang-orang yang memang benar benar-benar ahli di bidangnya, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya agar setiap orang dapat berperan secara maksimal, termasuk guru sebagai sebuah profesi yang menuntut kecakapan dan keahlian tersendiri. Profesionalisme tidak hanya karena faktor tuntutan dari perkembangan jaman, tetapi pada dasarnya juga merupakan suatu keharusan bagi setiap individu dalam kerangka perbaikan kualitas hidup manusia. Profesionalisme menuntut keseriusan dan kompetensi yang memadai, sehingga seseorang dianggap layak untuk melaksanakan sebuah tugas. Ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan dalam upaya, meningkatkan profesionalisme guru, yaitu :
a. Sertifikasi sebagai sebuah sarana
Salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui sertifikasi sebagai sebuah proses ilmiah yang memerlukan pertanggung jawaban moral dan akademis. Dalam issu sertifikasi tercermin adanya suatu uji kelayakan dan kepatutan yang harus dijalani seseorang, terhadap kriteria-kriteria yang secara ideal telah ditetapkan. Sertifikasi bagi para Guru dan Dosen merupakan amanah dari UU Sistem Pendidikan Nasional kita (pasal 42) yang mewajibkan setiap tenaga pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar yang dimilikinya. Singkatnya adalah, sertifikasi dibutuhkan untuk mempertegas standar kompetensi yang harus dimiliki para guru dan dosen sesui dengan bidang ke ilmuannya masing-masing.
a) Perlunya perubahan paradigma
Faktor lain yang harus dilakukan dalam mencapai profesionalisme guru adalah, perlunya perubahan paradigma dalam proses belajar menajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekedar sebagai obyek pembelajaran tetapi harus berperan dan diperankan sebagai subyek. Sang guru tidak lagi sebagai instruktur yang harus memposisikan dirinya lebih tingi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau konsultator yang bersifat saling melengkapi. Dalam konteks ini, guru dituntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian proses belajar mengajar akan dilihat sebagai proses pembebasan dan pemberdayaan, sehingga tidak terpaku pada aspek-aspek yang bersifat formal, ideal maupun verbal. Penyelesaian masalah yang aktual berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah harus menjadi orientasi dalam proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, out-put dari pendidikan tidak hanya sekedar mencapai IQ (intelegensia Quotes), tetapi mencakup pula EQ (Emotional Quotes) dan SQ (Spiritual Quotes).
b) Jenjang karir yang jelas
Salah satu faktor yang dapat merangsang profesionalisme guru adalah, jenjang karir yang jelas. Dengan adanya jenjang karir yang jelas akan melahirkan kompetisi yang sehat, terukur dan terbuka, sehingga memacu setiap individu untuk berkarya dan berbuat lebih baik.
c) Peningkatan kesejahteraan yang nyata
Kesejahteraan merupakan issu yang utama dalam konteks peran dan fungsi guru sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Paradigma professional tidak akan tercapai apabila individu yang bersangkutan, tidak pernah dapat memfokuskan diri pada satu hal yang menjadi tanggungjawab dan tugas pokok dari yang bersangkutan. Oleh sebab itu, untuk mencapai profesionalisme, jaminan kesejahteraan bagi para guru merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan dan dipisahkan. (Angelina Sondakh)
F. Guru Sebagai Contoh (Suri Teladan)
Pada dasrnya perubahan perilaku yang dapat ditunjukkan oleh peserta didik harus dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki ole seorang guru. Atau dengan perkataan lain guru mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku peserta didik.
Untuk itulah guru harus menjadi contoh (suri teladan) bagi peserta didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan, yang dapat digugu dan ditiru.
Seorang guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukkan oleh peserta didiknya. Untuk itu apabila seseorang ingin menjadi guru yang profesional maka sudah seharusny ia dapat selalu meningkatkan wawasan pengetahuan akademis dan praktis melalui jalur pendidikan berjenjang ataupun upgrading dan/atau pelatihan yng bersifat in service training dengan rekan-rekan sejawatnya.
Perubahan dalam cara mengajar guru dapat dilatihkan melalui kemampuan peningkatan mengajar sehingga kebiasaan lama yang kurang efektif dapat segera terdeteksi dan perlahan-lahan dihilangkan. Untuk itu, maka perlu perubahan kebiasaan dalam cara mengajar guru yang diharapkan akan berpengaruh pada cara bel;ajar siswa, diantaranya sebagi berikut (Dr. H. Hamzah : 17) :
a. Memperkecil kebiasaan cara mengajar guru baru (calon guru) yang cepat merasa puas dalam mengajar apabila banyak menyajikan informasi (ceramah) dan terlalu mendominasi kegiatan belajar peserta didik.
b. Guru hendakny berperan sebagai pengarah, pembimbing, pemberi kemudahan dengan menyediakan berbagai fasilitas belajar, pemberi bantuan bagi peserta yang mendapat kesulitan belajar, dan pencipta kondisi yang merangsang dan menantang peserta untuk berpikir dan bekerja (melakukan).
c. Mengubah dari berbagai metode ceramah dengan berbagai variasi metode yang lebih relevan dengan metode tujuan pembelajaran, memperkecil kebiasaan cara belajar peserta yang baru merasa belajar dan puas kalau banyak mendengarkan dan menerima informasi (diceramahi) guru, atau baru belajar kalau ada guru.
d. Guru hendaknya mampu menyiapkan berbagai jenis sumber belajar sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri dan berkelompok,percaya diri, terbuka untuk saling memberi dan menerima pendapat orang lain, serta membina kebiasaan mencari dan mengolah sendiri informasi.
G. Kompetensi Dan Tugas Guru
Kompetensi profesional guru adalah merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar (Kariman,2002). Pada umumnya disekolah-sekolah yang memiliki guru dengan kompetensi profesional akan menerapkan “pembelajaran dengan melakukan” untuk menggantikan cara mengajar dimana guru hanya berbicara dan peserta didik hanya mendengarkan.
Kompetensi guru berkaitan dengan profesionalisme yaitu, guru yang profesional adlah guru yang kompeten (berkemampuan), karena itu kompetensi profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya dengan kemampuan tinggi (Muhibbin Syah: 230). Dengan kata lain kompetensi adalah pemilikan, penguasaan, ketrampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang. (A.Piet Sahertian :4)
Sedangkan menurut Depdikbud kompetensi yang harus dimiliki seorang guru (Komponen Dasar Kependidikan :25-26 ) adalah :
1. Kompetensi Profesional, guru harus memiliki pengetahuan yang luas dari subject matter ( bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi dalam arti memiliki konsep teoritis mampu memilih metode dalam proses belajar mengajar.
2. Kompetensi Personal, artinya sikap kepribadian yang mantap sehingga mampu menjadi sumbr intensifikasi bagi subjek. Dalam hal ini berarti memiliki kepribadian yang pantas diteladani, mampu melaksanakan kepemimpinan seperti yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara, yaitu “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa. Tut Wuri Handayani”
3. Kompetensi Sosial, artinya guru harus mampu menunjukkan dan berinteraksi sosial, baik dengan murid-muridnya maupun dengan sesama guru dan kepala sekolah, bahkan dengan masyarakat luas.
4. Kompetensi untuk melakukan pelajaran yang sebaik-baiknya yang berarti mengutamakan nilai-nilai sosial dari nilai material.
Dalam suasana seperti itu, peserta didik dilibatkan secara aktif dalam memecahkan masalah, mencari sumber informasi, data evaluasi, serta menyajikan dan mempertahankan pandangan dan hasil kerja mereka kepada teman sejawat dan yang lainnya. Sedangkan para guru dapat bekerja secara intensif dengan guru lainnya, dalam merencanakan pembelajaran baik individual maupun tim, membuat keputusan tentang mendesai sekolah kolaborasi tentang pengembangan kurikulum, dan partisipasi dalam penilaian. Berikut akan diuraikan tentang kompetensi profesional yang harus menjadi andalan guru dalam melaksanakan tugasnya.
H. Peranan Guru Dalam Pembelajaran Tatap Muka
Terdapat beberapa peran guru dalam pembelajaran tatap muka yang dikemukakan oleh Moon (1998), yaitu sebagai berikut.
1. Guru sebagai Perancang Pembelajaran (Designer Instruction)
Pihak Departemen Pendidikan Nasional telah memprogram bahan pembelajaran yang harus diberikan guru kepada peserta didik pada suatu waktu tertentu. Disini guru dituntut untuk berperan aktif dalam merencanakan PBM tersebut dengan memerhatikan berbagai komponen dalam sistem pembelajaran yang meliputi :
a. Membuat dan merumuskan bahan ajar
b. Menyiapkan materi yang relevan dengan tujuan, waktu, fasilitas, perkembangan ilmu, kebutuhan dan kemampuan siswa, komprehensif, sistematis, dan fungsional efektif.
c. Merancang metode yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa.
d. Menyediakan sumbeer belajar, dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator dalam pengajaran.
e. Media, dalam hal ini guru berperan sebagai mediator dengan memerhatikan relevansi (seperti juga materi), efektif, efisien, kesesuaian dengan metode, serta pertimbangan praktis.
Jadi dengan waktu yang sedikit atau terbatas tersebut, guru dapat merancang dan mempersiapkan semua komponen agar berjalan dengan efektif dan efisien. Untuk itu guru harus memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang prinsip-prinsip belajar, sebagai landasan dari perencanaan.
2. Guru sebagai Pengelola Pembelajaran (Manager Instruction)
Tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan menggunakan fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar mengajar. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasi yang diharapkan.
Selain itu guru juga berperan dalam membimbing pengalaman sehari-hari ke arah pengenalan tingkah laku dan kepribadianny sendiri. Salah satu ciri manajemen kelas yang baik adalah tersedianya kesempatan bagi siswa untuk sedikit demi sedikit untuk mengurangi ketergantunganny pada guru hingga mereka mampu membimbing kegiatannya sendiri.
Sebagai manajer, guru hendaknya mampu mempergunakan pengetahuan tentang teori belajar mengajar dari teori perkembangan hingga memungkinkan untuk menciptakn situasi belajar yang baik mengendalikan pelaksanaan pengajaran dan pencapaian tujuan.
3. Guru sebagai Pengaruh Pembelajaran
Hendaknya guru senantiasa berusaha menimbulkan, memelihara, dan meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar. Dalam hubungan ini guru mempunyai fungsi sebagai motivator dalam keseluruhan kegiatan belajar mengajar. Empat hal yang dapat dikerjakan guru dalam memberikan motivasi adalah sebagai berikut (Dr Hamzah B.Uno :23), (1)membangkitkan dorongan siswa untuk belajar (2) menjelaskan secara konkret, apa yang dapat dilakukan pada akhir pengjaran (3) memberikan ganjaran terhadap prestasi yang dicapai hingga dapat merangsang pencapaian prestasi yang lebih baik dikemudian hari (4) membentuk kebiasaan belajar yang baik.
4. Guru sebagai Evaluator (Evaluator of Student Learning)
Tujuan utama penilaian adalah adalah untuk melihat tingkat keberhasilan,efektifitas dan efisiensi dalam proses pembelajaran. Selain itu untuk mengetahui untuk mengetahui kedudukan peserta dalam kelas atau kelompoknya . Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar peseta didik guru hendaknyasecra terus-menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai peserta didik dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini akan menjadi umpan balik terhadap proses pembelajaran. Umpan balik akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran selanjutnya. Dengan demikian proses pembelajaran akan terus menerus ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal
5. Guru sebagai Konselor
Sesuai dengan peran guru sebagai konselor adalah ia diharapkan akan dapat merespon segala masalah tingkah laku yang terjadi dalam proses pembelajaran, Oleh karena itu, guru harus dipersiapkan agar :(1)dapat menolong peserta didik memecahkan masalah-masalah yang timbul antara peserta didik dengan orang tuanya, (2) bisa memperoleh keahlian dalam membina hubungan yng manusiawi dan dapat mempersiapkan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan bermacam-macam manusia. Pada akhirnya, guru akan memerlukan pengertian tentang dirinya sendiri, baik itu motivasi, harapan, prasangka ataupun keinginannya. Semua hal itu akan memberikan pengaruh pada kemampuan guru dalam berhubungan dengan orang lain terutama siswa.
6. Guru sebagai Pelaksana Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat pengalaman belajar yang akan didapat oleh peserta didik selama ia mengikuti suatu proses pendidikan. Secara resmi kurikulum sebenarnya merupakan sesuatu yang diidealisasikan atau dicita-citakan (Ali,1985:30). Keberhasilan dari suatu kurikulum yang ingin dicapai sangat bergantung pada faktor kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru. Artinya guru adalah orang yang bertanggung jawab dalam mewujudkan segala sesuatu yang telah tertuang dalam suatu kurikulum resmi. Bahkan pandangan mutakhir menyatakan bahwa meskipun suatu kurikulum itu bagus, namun berhasil atau gagalnya kurikulum tersebut pada akhirnya terletak di tangan pribadi guru.
Sedangkan peranan guru dalam pembinaan dan pengembangan kurikulum secara aktif (Dr.H.Hamzah B.Uno :26) antara lain yaitu : (1)perencanaan kurukulum (2)pelaksanaan di lapangan (3) proses penilaian (4)pengadministrasian (5) perubahan kurikulum
7. Guru dalam Pembelajaran yang Menerapkan Kurikulum Berbasis Lingkungan
Peranan guru dalam kurikulum berbasis lingkungan tidak kalah aktifnya dengan peserta didik. Sehubungan dengan tugas guru untuk mengaktifkan peserta didik dalam belajar, maka seorang guru dituntut untuk memiliki pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang memadai. Pengetahuan, sikap, dan ketramoilan yang dituntut dari guru dalam proses pembelajaran yang memiliki kadar pembelajaran tinggi dadasarkan atas posisi dan peranan guru, tugas dan tanggung jawab sebagai pengajar yang profesional.
Posisi dan peran guru yang dikaitkan dengan konsep pendidikan berbasis lingkungan dalam proses pembelajaran (Dr. H. Hamzah.B.Uno 2007:27) , dimana guru harus menempatkan diri sebagai :
a. Pemimpin belajar, dalam arti guru sebagai perencana, pengorganisasi pelaksana, dan pengontrol kegiatan belajar peserta didik.
b. Fasilitator belajar, guru sebagai pemberi kemudahan kepada peserta didik dalam melakukan kegiatan belajarnya melalui upaya dalam berbagai bentuk.
c. Moderator belajar, guru sebgai pengatur arus kegiatan belajar peserta didik,. Selain itu guru bersama peserta didik harus menarik kesimpulan atau jawaban masalah sebagai hasil belajar peserta didik,atas dasar semua pendapat yang telah dibahas dan diajukan peserta didik.
d. Motivator belajar, guru sebagai pendorong peserta didik agar mau melakukan kegiatan belajar. Sebagai motivator guru harus dapat menciptakan kondisi kelas yang merangsang peserta untuk mau melakukan kegiatan belajar, baik individual maupun kelompok.
e. Evaluator belajar, guru sebagai penilai yang objektif dan komprehensif. Sebagai evaluator guru berkewajiban mengawasi, memantau proses pembelajaran peserta didik dan hasil belajar yang dicapainya. Guru juga berkewajiban melakukan upaya perbaikan proses belajar peserta didik, menunjukkan kelemahan dan cara memperbaikinya, baik secara individual, kelompok, maupun secara klasikal.
8. Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Proses pembelajaran yang bernafaskan lingkungan lebih menekankan pada pentingnya proses belajar peserta daripada hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik. Karena itu proses pembelajaran peserta didik merupakan tugas dan tanggung jawab guru. Ada beberapa kemampuan yang dituntut dari guru agar dapat menumbuhkan minat dalam proses pembelajaran (Sudjana dan Arifin, 1989: 31-39), yaitu sebagai berikut :
a. Mampu menjabarkan berbagai bentuk pembelajaran ke dalam berbagai bentuk cara penyampaian.
b. Mampu merumuskan tujuan pembelajaran kognitif tingkat tinggi, seperti analisis, sintesis, dan evaluasi. Melalui tujuan tersebut maka kegiatan belajar peserta didik akan lebih aktif dan komprehensif.
c. Menguasai berbagai cara belajar yang efektif sesuai dengan tipe dan gaya belajar yang dimiliki oleh peserta didik secara individual.
d. Memiliki sifat yang positif terhadap tugas profesinya, mata pelajaran yang dibinanya sehingga selalu berupaya untuk meningkatkan kemampuan dan melaksanakn tugasnya sebagaiguru.
e. Terampil dalam membuat alat peraga pembelajaransederhana sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan mata pelajaran yang dibinanya serta penggunaannya dalam proses pembelajaran.
f. Terampil dalam menggunakan berbagai model dan metode pembelajaran yang dapat menumbuhkan minat sehingga diperoleh hasil belajar yang optimal.
g. Terampil dalam melakukan interaksi dengan peserta didik, dengan mempertimbangkan tujuan dan materi pelajaran, kondisi pesertadidik, suasana belajar, jumlah peserta didik, waktu yang tersedia, dan faktor yang berkenaan dengan diri guru itu sendiri.
h. Memahami sifat dan karakteristi peserta didik, terutama kemampuan belajarnya, cara dan kebiasaan belajar, minta terhadap pelajaran, motivasi untuk belajar, dan hasil belajar yang telah dicapai.
i. Terampil dalammenggunakan sumber-sumber belajar yang ada sebagai bahan ataupun media belajar bagi peserta didik dalam proses pembelajaran.
j. Terampil dalam mengelola kelas atau memimpin peserta didik dalam belajar sehingga suasana belajar menjadi menarik dan menyenangkan
9. Syarat Guru yang Baik dan Berhasil
Tidak sembarang orang dapat melaksanakan tugas profesional sebagai seorang guru. Untuk menjadi guru yang baik haruslah memnuhi syarat yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Ngalim Purwanto,1985:170-175). Syarat utam untuk menjadi seorang guru, selain berijazah dan syarat-syarat mengenai kesehatan jasmani dan rohani, ialah mempunyai sifat-sifat yang perlu untuk dapat memberikan pendidikan dan pembelajaran. Selanjutnya, dari syarat-syarat tersebut dapat dijabarkan secara lebih terperinci, yaitu sebagai berikut :
a. Guru harus berijazah
Yang dimaksud ijazah disini adalah ijazah yang dapat memberi wewenang untuk menjalankan tugas sebagai seorang guru di suatu sekolah tertentu.
b. Guru harus sehat Rohani dan Jasmani
Kesehatan rohani dan jasmani merupakan salah satu syarat penting dalam setiap pekerjaan. Karena orang tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika ia diserang suatu penyakit. Sebagai seorang guru syarat tersebut merupakan syaarat mutlak yang tidak dapat diabaikan. Misalnya saja seorang guru yang sedang terkena penyakit menular tentu saja akan membahayakan bagi peserta didiknya.
c. Guru harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkelakuan baik
Sesuai dengan tujuan pendidikan, yaitu membentuk manusia yang susila yang bertaqwa kepada Tuhan YME maka sudah selayaknya guru sebagai pendidik harus dapat menjadi contoh dalam melaksanakan ibadah dan berkelakuan baik.
d. Guru haruslah orang yang bertanggung jawab
Tugas dan tanggung jawab guru sebagai seorang pendidik, pembelajar dan pembimbing bagi peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung yang telah dipercayakan orang tua/wali kepadanya hendaknya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Selain itu guru juga bertanggung jawab terhadap perilaku masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
e. Guru di Indonesia harus berjiwa nasional
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang mempunyai bahasa dan adat istiadat berlainan. Untuk menanamkan jiwa kebangsaan merupakan tugas utama seorang guru, karena itulah guru harus terlebih dahulu berjiwa nasional.
Syarat-syarat di atas adalah syarat umum yang berhubungan dengan jabatan sebagai guru. Selain itu ada syarat lain yang sangat erat hubungannya dengan tugas guru disekolah antara lain (DR. H. Hamzah.B.Uno 2007:30) (1) harus adil dan dapat dipercaya (2) sabar, rela berkorban, dan menyayangi peserta didiknya (3) memiliki kewibawaan dan tanggung jawab akademis, (4) harus memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan menguasai benar mata pelajaran yang dibinanya, (5) harus selalu instropeksi diri dan siap menerima kritik dari siapapun, (6) harus berupaya meningkatkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Langganan:
Postingan (Atom)